ANCANG-ANCANG PERPPU (PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UU) PILPRES 2009
Persayaratan 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional
UU Pilpres No. 42 tahun 2008 mensyaratkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang berhak mengajukan pasangan Capres/Cawapres harus memiliki 20% kursi di DPR atau suara sah mereka secara nasional (suara Pileg DPR) mencapai 25%. Persyaratan ini sebetulnya sudah diminta beberapa bakal calon Presiden seperti Wiranto dan Sutiyoso beberapa waktu untuk dibatalkan oleh MK. Namun MK memutuskan bahwa aturan ini tidak melanggar UUD'45.
Ternyata setelah Pileg kemarin, partai yang memperoleh suara sah secara nasional mencapai 25% tidak ada. PD yang suaranya tertinggi saja kemungkinan hanya memperoleh 20%. Namun karena PD suaranya merata se Indonesia, bisa diramalkan PD bisa menguasai sekitar 20% kursi DPR. Dengan demikian, hanya PD sajalah satu-satunya partai yang bisa mengajukan pasangan Capres/Cawapres tanpa harus dukungan partai lain.
Namun untuk menjaga stabilitas pemerintahan, PD tetap memerlukan mitra koalisi agar kebijakan pemerintah bisa didukung di DPR. Setidaknya didukung 50% lebih suara DPR. Itulah sebabnya PD mulai mencari mitra koalisi. Karena PD adalah partai-nya SBY yang notabene incumbent dan tersirat kemungkinan akan menang lagi, beberapa partai lolos PT mulai merapat mendukung, seperti PKB, PKS (meski pakai "ancam mengancam" segala), PAN nya Pak Amin. Juga partai yang tak lolos PT seperti PBB, dll.
Kemudian Golkar juga mulai menjajagi kemungkinan koalisi dengan PD. Namun rupanya koalisi PD-Golkar ini agak bermasalah. JK yang sudah terlanjur mancalon Presiden dan kadang berseberangan dalam 5 tahun terakhir dengan SBY (kata orang "suryo kembar"), menjadikan SBY sepertinya mikir-mikir kalau balik lagi berpasangan dengan JK. Bukannya PD gak perlu Golkar, tapi perlu orang Golkar lain tapi mungkin bukan JK. Inilah yang dinego oleh PD agar Golkar janganlah mengajukan satu Cawapres saja (baca JK). Maksudnya, kalau SBY milih yang lain ya bukan salah beliau. "Wong Golkar kog yang menyodorkan itu." He.. he.. he.. Tinggal Akbar Tanjung, Surya Paloh atau Abu Rizal dari Golkar sebagai pilihan alternatif (mewakili Luar Jawa).
Sulitnya calon tandingan lolos syarat UU Pilpres
Di sisi lain, Megawati sebagai Calon Presiden dari partai oposisi, PDI-P, harus menerima kenyataan bahwa partai ini hanya didukung 14% suara sah. Itu pun suaranya di DPR bisa jadi kurang dari 14% karena suara PDI-P ngumpul banyak di Jawa. Sehingga untuk mencari mitra koalisi perlu 11% suara sah lagi. Darimana bisa cari dukungan sebesar itu?
Memang kalau bisa mengajak partai-partai yang tak lolos PT bisa juga mencapai syarat. Karena suara mereka mencapai sekitar 18%. Pertanyaannya apa mereka mau?
Megawati awalnya juga mencoba mengajak Gerindra dan Hanura bergabung. Tapi agaknya Prabowo masih tetap semangat untuk jadi Calon Presiden. Nah, gak mungkin kan Mega jadi Wakil Prabowo?
Mau mengajak PPP gabung, partai ini sendiri sepertinya ogah dengan Ibu Mega. Bahkan PPP dilanda sedikit kisruh karena antara mau bergabung dengan SBY atau Calon Alternatif. Hal serupa sepertinya juga terjadi di PAN, antara Pak Amin yang mendukung SBY dan DPP PAN Pak Soetrisno, yang agak condong ke Prabowo.
Lalu Prabowo dengan Gerindra-nya. Ia masih semangat terus untuk jadi Capres. Padahal suara Gerindra hanya sekitar 4,5%. Suara semua partai kecil digabung dengan suaranya pun belum mencapai 25%. Mengajak Hanura bergabung, belum tentu Pak Wiranto sepakat. Prabowo hanya bisa maju kalau PPP, PAN dan partai-partai kecil mau bergabung dan mendukungnya. Namun sekali lagi PPP, masih mendua. Bahkan PAN kayaknya sudah lebih condong ke SBY bersama Pak Amin.
Terakhir dan yang masih ditunggu adalah langkah Golkar. Apalagi setelah Tim Golkar dan PD gagal nego. Mau kemana? Gabung ke Blok M? Pertanyaannya siapa Capres dan siapa Cawapres-nya? Golkar hanya jadi Cawapres lagi? Ah rugi dong. Sama-sama tetap jadi Cawapres ya milih PD saja yang mungkin bisa menang. Atau Golkar jadi Capres, PDI-P Cawapres? Ah nggak mungkin lah. Masak Ibu Mega, yang mantan Presiden diminta jadi Wapres.
Itulah kira-kira menurut saya situasi saat ini. Buntu. Di antaranya karena dulu waktu bikin UU Pilpres, menaruh syarat terlalu tinggi. Padahal yang ingin jadi Capres seabreg.
Sebagai bahan bandingan, Pilgub DKI saja akhirnya kesulitan cari pasangan calon karena syarat 15% suara di DPRD tidak mudah partai-partai untuk diajak bergabung. Maunya ngumpul, karena kemungkinan besar bisa menang dengan mengumpul seperti itu. Akhirnya hanya ada 2 pasang calon saja. Apalagi untuk Pilpres ini perlu 20% atau 25% suara sah. Berat lah. Untungnya kemudian untuk Pilgub dan Pilbup diperbolehkan calon independen. Jadi kalau lewat partai gak jalan, rakyat bisa mengisi lewat calon independen. Namun untuk Pilpres, calon independen tidak diijinkan karena menurut MK hal itu melanggar UUD'45 (Amandemen).
UUD'45 (Amandemen)
Pasal 6A berbunyi:
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
(5) Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.
Perppu apa?
Memang di UUD'45 hasil Amandemen itu tidak disebutkan harus ada minimal 2 pasang Capres/Cawapres. Namun ayat (3) Pasal 6A itu implisit menyatakan bahwa harus ada lebih dari satu pasang kandidat. Kalau tidak, lebih dari 50% suara itu melawan apa? Kotak kosong? Kalau kotak kosong dalam Pemiilu sudah kita anggap sah, maka mestinya kita harus juga menyatakan bahwa "Golput" itu adalah suara sah. Tapi tidak demikian bukan?
Makanya kalau ada usulan Perppu Calon Tunggal untuk Pilpres, menurut saya jadi tidak selaras dengan kandungan UUD'45 di atas. Sebetulnya kekuatan Perppu setingkat UU, maka mengapa tidak syarat 20% kursi atau 25% suara sah yang ada di UU Pilpres itu saja yang dicabut. Toh UUD'45 tidak secara eksplisit memberi batas "sebesar" itu. Tapi memang pembatalan syarat ini bagai buah simalakama, begitu dihapus sekarang besok-besok susah untuk bikin aturan seperti itu lagi. Dan akhirnya bisa ada 40-an calon Presiden sesuai jumlah partai. Gawat! Paling-paling bisa dibatasi partai-partai yang lolos PT. Jadi sekitar 9-10 pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden.
Di sisi lain memberi kesempatan calon tunggal menurut saya juga tidak sehat untuk demokrasi. Ujung-ujungnya nati bisa kembali seperti jaman Rezim Orba lagi. Ngeri!
Nah sekarang tinggal kita tunggu. Apakah akan ada calon-calon lain selain Blok S yang bisa memenuhi syarat UU Pilpres. Bisakah Blok M atau juga Blok P (kalau tetap ngotot untuk maju) mengumpulkan dukungan untuk memenuhi syarat untuk maju dalam Pilpres? Suara Golkar, masih ditunggu, mau kemana. Karena suara 14% lebih ini cukup penting. Kalau pada akhirnya tidak ada yang bisa maju kecuali Blok S, maka Perppu akan muncul.
Sebagai tambahan, isu mau memboikot Pilpres, seperti kita dengar juga akhir-akhir ini (dengan dalih DPT) menurut saya hanya sebuah taktik untuk mendorong terbitnya Perppu. Harapannya, agar calon-calon lain bisa lolos. Tentunya harapan mereka bukan Perppu Calon Tunggal yang dikeluarkan.
Safira Machrusah & M. Taufiq Prabowo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar