Tampilkan postingan dengan label abah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label abah. Tampilkan semua postingan

02 Desember 2008

Abahku, Kyai Tolchah

Prof. DR. K.H.M. Tolchah Mansoer, SH

Kyai Tolchah, begitulah abah saya biasanya dipanggil, semasa hidupnya adalah seorang kyai yang sangat mendalami hukum-hukum Islam sekaligus ahli dalam bidang Hukum Tata Negara. Orang bilang bahwa abah adalah representasi ulama intelektual. Banyak karya beliau dalam bidang ini yang telah dihasilkan, mulai dari buku yang berkaitan dengan masalah Hukum Tata Negara (cari misalnya di Google Scholar), sampai bedah kitab klasik yang dibahas secara terinci, misalnya kitab Fathul Muin atau kajian Burdah, yang itu menjadi kebanggaan beliau. Abahpun membuka pengajian khusus untuk dosen- dosen IAIN maupun mahasiswa UGM, di rumah.
Bahkan untuk yang terakhir ini, alm. KH. Bisyri Musthofa sampai mengarang syair khusus sebagai hadiah untuk abah, dalam bahasa Arab, yang ditulis tangan di satu lembar besar kertas manila merah. Alhamdulillah, syair itu masih kami simpan sebagai kenangan bersama.

Sebagai pakar hukum di masanya, alumnus fakultas Hukum UGM ini pernah menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara pada Universitas Islam Negeri (dulu IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Beliau juga pernah menjabat Dekan di IAIN Suka Yogyakarta, Rektor di Universitas Hasyim Asy’ari, Jombang, Rektor di Universitas Widya Mataram (milik Sultan HB IX), Rektor di AAN (Akademi Administrasi Negara) Yogyakarta, dan dosen di Akademi Militer, Magelang. Dalam hal akademik ini, saudara kandung abah, K.H. Usman Mansoer, pada saat hidupnya juga cukup berjasa dalam hal mengembangkan pendidikan. Beliau adalah pendiri dan Rektor pertama Universitas Islam Malang (UNISMA).

Abah juga sangat kental dengan tradisi Nahdlatul Ulama. Pada tahun 1954, beliau mendirikan dan menjadi Ketua Umum pertama PP Ikatan Pelajar NU. Sejak itu beliau selalu aktif berkecimpung di organisasi Nahdlatul Ulama. Abah pernah pula menjadi salah satu ketua HMI Yogyakarta, sebelum kemudian bersama-sama dengan alm Mahbub Junaedi serta beberapa tokoh lainnya mendirikan organisasi pemuda yang lain, PMII.

Pada tahun 1984, pasca muktamar NU di Situbondo, beliau terpilih sebagai salah satu Rais Syuriah PBNU, setelah sebelumnya bersaing dengan KH Abdurrahman Wahid dalam pemilihan ketua umum tanfidziyah, pada event yang sama. Karena pengetahuannya yang luas tentang Hukum Tata Negara dan kitab- kitab klasik, serta sikap ke-Indonesia-annya yang mendalam maka beliau berhasil meyakinkan para muktamirin NU di Situbondo tahun 1984 untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Menurut beberapa sumber, abah adalah salah satu penyusun draft diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas di kalangan Nahdliyin pada waktu itu.

Ingatan kami putra putrinya tentang abah, adalah seorang humoris, suka bercerita tentang cerdiknya Abunawas, sangat mencintai putra- putrinya, mendidik khususnya untuk putri- putri abah menjadi mandiri, dan meyakinkan bahwa se modern apapun dunia disekeliling kita, tradisi tetap harus dijaga.


Abah meninggal tahun 1986 karena serangan jantung di RS Sarjito, di tengah-tengah keluarga, sahabat dan koleganya. Pada akhir hayat beliau, dengan diiringi shalawat yang tiada henti, ribuan orang menghantarkan abah ke tempat peristirahatannya yang terakhir, di makam keluarga KH Ali Ma'shum, Pondok Pesantren Krapyak (atas permintaan alm. KH Ali Ma'shum pribadi kepada ibu). Kami sekeluarga, masing- masing menaburkan bunga, dan merangkul ibunda yang terlihat tegar, karena semenjak itulah ibu harus berjuang membesarkan putra putrinya, bertujuh, dan yatim, sendirian. Abahpun meninggalkan harta yang tak ternilai buat kami... nama baik dan sejumlah besar kitab-kitab klasik ternama. Buat abah, semoga Allah swt selalu melimpahkan rahmat kepadanya dan mengampuni semua kesalahannya serta menerima amal-amalnya. Amin allahumma amin.