21 April 2009

Jual beli suara pasca Pemilihan Umum 2009, sebuah pengkhianatan

Saya sudah mulai mendengar tentang jual-beli suara hasil Pemilihan Umum ini sejak Pemilu 2004. Namun suaranya masih semilir belum begitu keras. Tapi agaknya dalam Pemilu 2009 yang baru lalu, praktek ini menjadi semakin transparan. Apalagi dengan aturan suara terbanyak, para pedagang dan pembeli suara lewat broker-broker itu tak lagi sembunyi-sembunyi.

Hal ini betul-betul menyedihkan. Karena suara sebagian masyarakat yang dengan hati tulus dan kejujuran diberikan kepada orang-orang yang layaknya mereka percaya, dengan semena-mena digadaikan kepada pihak lain dengan imbalan uang. Sebuah pengkhianatan, benar-benar sebuah pengkhianatan.

Mungkin ada yang berdalih daripada suara-suara itu "mubadzir", kan lebih baik berguna. Bagi saya, hal itu menguntungkan untuk siapa? Individu-individu caleg dan broker-broker politik yang melakukan transaksi itu bukan? Apakah itu berguna untuk para pemilih? Yang jelas para pemilih sudah meluangkan waktu, energi dan uang untuk datang ke TPS. Apalagi kalau hal itu ditambah dengan harapan agar mendapatkan anggota legislatif yang sesuai dengan aspirasinya. Dan dengan mudah, upaya, kepercayaan dan harapan pemilih itu dijual! Sungguh menyakitkan!

Berita di Harian Kompas berikut ini (Senin, 20 April 2009) membicarakan jual beli suara pasca Pemilu 2009 di Sumatera Utara. Namun, hal itu saya rasa tidak hanya terjadi di sana (Lihat juga
Media Indonesia, Kamis, 23 April 2009 untuk bentuk-bentuk lain jual beli suara di Jawa Timur). Beberapa hari lalu, teman saya bercerita bagaimana seorang broker mendatangi rumah salah seorang caleg yang memperoleh suara cukup lumayan untuk DPRD Kabupaten/Kota. Kebetulan caleg tersebut dari salah satu partai kecil. Broker tersebut menawarkan tiga opsi:

1. Apakah ybs. ingin jadi angota DPRD? Barangkali kalau jawabannya "ya", maka kemungkinan akan dicarikan (baca: dibelikan) suara-suara lain agar memenuhi ambang batas "BPP (Bilangan Pembagi Pemilih)". Dan tentunya harus dibayar oleh ybs. suara-suara tadi.

2. Ataukah ybs. mau menerima uang pengganti? Langsung? Kalau jawabannya "ya", maka kemungkinan sang broker akan mencarikan caleg-caleg yang siap membayar suara-suara itu. Mungkin satu suara berharga 50 ribu atau 100 ribu (begitu kata teman saya tarifnya sekarang). Tinggallah dihitung berapa yang diperlukan dan berapa imbalannya.

3. Ataukah ybs. mau menerima uang pengganti namun tak langsung, sepanjang periode DPRD? Kalau jawabannya "ya", maka kemungkinan sang broker akan mencarikan caleg-caleg yang siap membayar suara-suara itu dalam bentuk kontrak 5 tahun. Caleg penjual akan menerima sebagian dari gaji anggota legislatif yang "diberi" suara.

Oleh karena itu, di samping sistem IT yang amburadul dari KPU dalam Pemilu 2009 ini, saya menduga kuat bahwa jual-beli suara hasil Pemilihan Umum menjadi penyebab lain lambatnya akumulasi hasilnya. Bayangkan, setelah 11 hari, Real Count KPU hanya sanggup mengumpulkan 10% dari TPS dan hanya sekitar 6% dari pemilih. Benar-benar Pemilu yang amburadul dan sarat kedzaliman! Menyedihkan.

Sebagai tambahan catatan:
Menghindari jual-beli suara dan pengkhianatan amanat rakyat.


Mestinya suara rakyat tidak boleh "mubadzir". Hanya perlu memperbaiki dan mengembangkan sistemnya. Misalnya sistem Pemilihan Umum di Australia. Negara ini menerapkan sistem Pemilihan Umum yang memberikan keluasan pada pemilih untuk tidak hanya memilih satu orang saja. Pemilih memberikan nomer pada para kandidat (caleg atau partai). Partai atau kandidat yang diberi nomer 1, maka itulah pilihan utama dari pemilih. Partai atau kandidat yang diberi nomer 2, maka itu pilihan alternatif kedua. Dst. Kalau ternyata kandidat nomer 1 tidak lolos, maka otomatis suaranya akan diberikan pada kandidat nomer 2, dst. Memang sistem ini lebih rumit dan perlu KPU dan stafnya yang benar-benar lebih "profesional". Mungkin suatu saat nanti bisa terjadi.

Atau dengan terbuka sebenarnya, masalah "pelimpahan suara" ini bisa juga diundangkan. Dengan demikian rakyat tahu bahwa kalau seandainya sebuah partai yang mereka dukung ternyata tidak memenuhi electoral threshold atau parliamentary threshold maka mereka sudah siap bahwa suara mereka akan dilimpahkan ke partai lain. Dalam hal ini yang mestinya bertindak mewakili adalah partai dengan partai. Dan "deal" yang terjadi bukanlah atas dasar uang, namun perjuangan kebijakan atau kesamaan ideologi.




Safira Machrusah & M. Taufiq Prabowo



Jual Beli Suara di Sumatera Utara

Senin, 20 April 2009 | 19:56 WIB

MEDAN, KOMPAS.com - Praktik jual beli suara selama rekapitulasi di panitia pemilihan kecamatan terjadi di banyak daerah di Sumatera Utara. Di Kabupaten Pakpak Bharat, ditemukan salah satu partai politik yang mendapat suara saat penghitungan di TPS, namun ketika rekapitulasi di panitia pemilihan kecamatan, partai tersebut tak mendapatkan suara.

"Anehnya, partai politik yang kehilangan suara di PPK (panitia pemilihan kecamatan) ternyata tak merasa dirugikan dan tak melakukan protes. Padahal berdasarkan formulir C1 (hasil rekapitulasi di TPS) partai tersebut mendulang suara," ujar Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara (Sumut) Divisi Penghitungan Suara dan Pemutakhiran Data Turunan Gulo di Medan, Senin (20/4).

Menurut Turunan, apa yang terjadi di Pakpak Bharat merupakan indikasi yang jelas terjadinya jual beli suara antarparpol. Turunan mengatakan, ada dua modus jual beli suara yang biasa terjadi di banyak daerah di Sumut. Modus pertama adalah manipulasi suara yang terjadi pada sesama calon legislatif (caleg) dalam satu parpol.

Misalnya salah satu parpol hanya mendapat satu kursi di daerah pemilihan, pertarungan jadi terjadi antarcaleg di parpol tersebut. Partai tidak akan mencuri suara dari partai lain, tetapi sangat mungkin terjadi transaksi suara di antara caleg di parpol yang sama. "Sangat mungkin suara caleg dicurangi oleh rekannya sesama caleg satu parpol," ujar Turunan.

Modus kedua kata Turunan terjadi jual beli suara antarparpol. Dia mencontohkan kasus yang terjadi di Pakpak Bharat. Parpol bisa membeli suara dari parpol lain yang tak mungkin mendapatkan kursi legislatif. Jual beli suara seperti ini memungkinkan parpol yang seharusnya mendapatkan kursi legislatif, kehilangan kesempatan karena dicurangi parpol lain yang telah melakukan transaksi jual beli suara.

Menurut Turunan, praktik jual beli suara ini sangat lazim terjadi di banyak daerah. Hanya saja, kata Turunan, KPU Sumut sulit membuktikannya. Kami baru mendapat laporan dari Pakpak Bharat. "Tetapi modus jual beli suara atau manipulasi suara seperti ini banyak terjadi di tempat lain di Sumut," ujarnya.

Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Sumut membenarkan terjadinya banyak praktik jual beli dan manipulasi suara selama masa rekapitulasi di tingkat PPK. Ketua Panwaslu Sumut Ikhwaluddin Simatupang mengatakan, sudah mendapat laporan terjadi praktik jual beli suara di Pakpak Bharat. Tepatnya di Kecamatan Kerajaan. "Kami sudah mendapatkan laporannya, termasuk partai politik yang melakukan jual beli suara tersebut," kata Ikhwaluddin.

Bahkan menurut Ikhwaluddin berdasarkan laporan Panwaslu di daerah, manipulasi dan praktik jual beli suara tidak hanya terjadi di Pakpak Bharat. Salah satunya terjadi di Kecamatan Medan Perjuangan, Medan. "Kami masih menelusuri data-data manipulasi suara ini," katanya.

Panwaslu Sumut menurut Ikhwaluddin mempersilakan caleg maupun parpol yang dirugikan karena manipulasi dan praktik jual beli suara untuk mengecek data perolehan suara di TPS (formulir C1) di Panwaslu. "Silakan saja kalau mereka mau mengecek data perolehan suara lewat formulir C1 milik Panwaslu. Akan tetapi, kami juga masih belum menerima semua formulir C1 ini," katanya.

Menurut Turunan, siapa pun caleg yang mau menggugat praktik jual beli suara, harus memiliki data formal seperti formulir C1. "Mereka baru bisa menggugat kalau memiliki bukti formal telah terjadi selisih penghitungan suara. Caleg yang dirugikan ini harus bisa mengumpulkan bukti-bukti berupa formulir C1 agar bisa memiliki dasar hukum menggugat terjadinya manipulasi suara. Karena KPU tak mungkin lagi menginstruksikan pembukaan kotak suara, kecuali ada perintah dari pengadilan," ujarnya.

KOMPAS Khaerudin

Dapatkan artikel ini di URL:
http://www.kompas.com/read/xml/2009/04/20/19560992/jual.beli.suara.di.sumatera.utara.



Panwaslu Jatim Menemukan Praktik Jual Beli Suara

Kamis, 23 April 2009 10:59 WIB

SURABAYA--MI: Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Jawa Timur menemukan indikasi jual beli suara antara petugas KPPS dan calon legislatif untuk mengubah perolehan suara caleg tersebut.

''Jual beli suara antara petugas KPPS dan caleg kita jumpai dibeberapa daerah sekarang dalam tahap investegasi Panwaslu,'' kata Ketua Panwaslu Jatim Sri Sugeng kepada wartawan di Surabaya, Kamis (23/4).

Sugeng menyebut salah satu kasus yang sekaranag ditangani Panwaslu adalah jual beli suara di TPS Desa Sumberejo, Kabupaten Bojonegoro. Di TPS tersebut seorang caleg meminta agar petugas KPPS memasukkan suara parpol ke suara caleg sehingga bila dihitung maka jumlahnya perolehan suara caleg dengan parpol sama.

''Ini bisa terjadi bila ada kerjasama antara caleg dengan KPPS. Biasanya terjadi saat penghitungan rekapitulasi,'' katanya.

Panwaslu telah menerima bukti-bukti perubahan suara itu dari Bojoengoro. Hasilnya memang ada perubahan antara perolehan suara caleg dan parpol.

Namun untuk memastikan itu, katanya, Panwaslu akan meminta keterangan saksi-saksi termasuk petugas KPPS. ''Ini tindakan pemilu serius yang menjadi perhatian Panwaslu,'' katanya.

Tidak hanya di Bojonegoro, Panwaslu Jatim juga menginvestegasi kejadin jual beli suara di salah satu daerah di Madura. Sugeng menjelaskan banyak caleg yang berupaya mengatrol perolehan suaranya dengan cara membeli suara di KPPS. Ini bisa terjadi caleg dengan parpol.

Tren jual beli itu, lanjutnya, makin marak ketika saksi sudah jenuh datang ke PPK atau TPS yang tidak ada saksinya. (FL/OL-03)

http://www.mediaindonesia.com/read/2009/04/04/71223/125/101/Panwaslu_Jatim_Menemukan_Praktik_Jual_Beli_Suara

Tidak ada komentar: