10 Januari 2009

Palestina, Bagaimana Bisa Aku melupakanmu

Sejak tahun 1989 saat penyair Taufik Ismail menuliskan puisinya tentang Palestina keadaan itu belum begitu banyak berubah. Palestina masih saja menjadi ajang kedzaliman Israel dan sekutunya. Tahun ini, saat umat Islam di belahan dunia merayakan tahun baru hijriah, rakyat Palestina di Gaza harus menerima muntahan bom-bom udara yang merengut banayak jiwa tak berdosa. Bahkan PBB-pun mandul untuk memaksa Israel mundur. Dengan hati berduka saya berdoa semoga rakyat Palestina kuat dan tetap semangat untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan keadilan suatu hari bisa berarak menang.

Berikut adalah puisi karya Sang Penyair Indonesia Taufik Ismail yang saya bacakan saat mengadakan perayaan Tahun Baru Hijriah 1430.


Palestina, Bagaimana Bisa Aku melupakanmu

Ketika rumahmu diruntuhkan buldozer
Dengan suara-suara gemuruh menderu,
Serasa pasir dan batu bata di dinding kamar tidurku
Bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah
Dan mengepulkan debu yang berdarah

Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu
Dilipat-lipat sebesar sapu tangan
Lalu Tel Aviv dimasukkan
Dalam fail lemari kantor Agraria,
Serasa kebun kelapa dan kebun manggaku
Di kawasan katulistiwa yang dirampas mereka

Ketika kiblat pertama gerek dan kerecaki
Bagai kelakuan reptilia dibawah tanah
Dan sepatu-sepatu serdadu menginjak tumpuan kening kita semua,
Serasa runtuh lantai papan surau
Tempat aku waktu kecil belajar tajwid Al Qur’an
40 tahun silam
di bawahnya ada kolam ikan yang air gunungnya
bening kebiru-biruan
kini ditetesi air mataku

Palestina, bagaiman bisa aku melupakanmu,
Ketika anak-anak kecil di Gaza
Belasan tahun bilangan umur mereka,
Menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma,
Lalu dipatahi pergelangan tangan dan lengannya,
Siapakah yang tak menjerit
Serasa anak-anak kami
Indonesia jua yang didzalimi mereka

Tapi saksikan tulang mida mereka yang patah
Akan bertaut dan mengulurkan rantai amat panjangnya,
Pembelit leher mereka, penyeret tubuh si zalim ke neraka
Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan Samir Al-Qassem, Harun Hashim, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya
Yang dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta,
Jantung kami semua berdegup dua kali lebih gencar
Lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu,
Darah kami pun memancar ke atas
Lalu menuliskan guratan kaligrafi…
”Allahu Akbar!”
Dan
“Bebaskan Palestina!”

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu,
Ketika pabrik tak bernama
1000 ton sepakan memproduksi dusta
menebarkannya ke media cetak dan elektronika,
mengoyaki tenda-tenda pengungsi ke padang pasir belantara,
membangkangi resolusi-reolusi majelis-majelis terhormat di dunia
membantai di Shabra dan Shatila,
mengintai Yaseer Arafat dan semua pejuang negeri Anda,
Aku pun berseru kepada khatib
Dan imam shalat Jum’at sedunia:
Doakan kolektif dengan kuat seluruh
Dan setiap pejuang yang menapak di jalan-Nya
Yang ditembaki dan kini dalam penjara
Lalu dengan kukuh kita bacalah
“Laa quwwata illa bi-llah!”

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu
Tanahku jauh, bila diukur kilometer, jumlahnya beribu-ribu,
Tapi adzan masjid Aqsha yang merdu
Serasa terdengar di telingaku

1989

01 Januari 2009

Ketamakan dan 'conflict of interest'

Seorang teman menulis pada saya:

Mbak.... kita masih ingat, beberapa bulan yang lalu PM Thailand (waktu itu) digusur karena tampil di TV (dibayar kecil sekali... konon katanya, dan programnya hanya program 'kuliner' karena dia jago/hobi masak). Beberapa hari yang lalu JK juga membela niat pemerintah untuk membantu kelompok perusahaan nasional dengan menyebutkan ... bahwa Ical tidak bisa didiskriminasi untuk tidak dibantu hanya krn dia duduk dalam kabinet. Link berikut ini juga bisa disimak: http://www.theage.com.au/world/clintons-ready-to-sacrifice-for-plum-job-say-friends-20081118-6aaw.html

Pertanyaan saya, kapan ya para pejabat publik kita (termasuk anggota parlemen tentunya khan ya) sadar bahwa harus ada 'tembok cina' (meminjam istilah para 'investment bankers) antara tugas dan tanggungjawab publik DAN 'private business'?!

Jawaban saya:

Pak, mengenai pertanyaan kapan? Pendapat saya, harusnya sudah dimulai. Kalau belum mulai ya mari dimulai dari sekarang. Saya sangat tertarik mencermati keputusan Theresa Rein (isteri PM Australia saat ini), bahwa begitu Kevin Rudd mulai berkampanye untuk menjadi bakal PM, ia mundur dari posisinya sebagai Dirut Ingeus, sebuah perusahaan multinasional tenaga kerja. Bahkan setelah Rudd jadi PM, kemudian berkembang isu bahwa perusahaan Rein membayar pekerjanya dibawah rata-rata, sang suami ikut menyesali. Dan setelah semua terbayar, Rein lalu menjual perusahaannya supaya tidak terjadi 'conflict of interest' antara 'kekuasaan' dan 'business'. Dengan contoh seperti ini, saya tidak mengatakan bahwa 'orang bule' baik-baik semua, tapi contoh seperti ini perlu untuk ditradisikan dalam demokrasi kita.

Terus terang, saya menyukai betul ujaran Mahatma Gandhi.... We are enough for our need....but, we are not enough for our GREED. Semestinya, semenjak seseorang memangku jabatan yang memberikan LAYANAN PADA PUBLIK, ke-GREEDY-an seseorang tersebut harus segera dipangkas. Caranya ya dengan mengedepankan etika. Kalau menuntut semua ada aturan hukumnya, ya ... nggak selesai-selesai. Sebenarnya dalam bahasa Islam kita memiliki konsep jihadun nafs, jihad melawan hawa nafsu "GREEDY" atau juga konsep wara', menjauhi yang meragukan, atau bahkan konsep itsar, mendahulukan orang lain. Demi kemaslahatan umat juga untuk nama baiknya sebagai pejabat, orang tersebut harus rela melepas semua hal yang bisa 'menghancurkan' reputasinya. Bahwa umat Islam pun dulu pernah punya contoh-contoh teladan seperti itu, ya ada. Mas Taufiq pernah cerita tentang khalifah Umar bin Abdulaziz pada saya. Ia menggambarkan bagaimana khalifah yang tadinya sangat mewah hidupnya itu berubah menjadi sangat sederhana saat menjadi khalifah. Bahkan beliau mengembalikan kepada kas negara makanan yang dibeli dengan uang sendiri namun menggunakan 'kendaraan' negara. Namun, sepertinya, semakin jauh riwayat-riwayat Islam itu, semakin memudar pula hasrat untuk meneladaninya.

Dari intuisi (perlu studi lanjut) saya mendapatkan salah satu alasan kenapa masyarakat banyak yang golput? Atau, ketika saya pada hari- hari saya di jalanan Jakarta, di Yogya, di mana-mana.... melihat banyak wajah yang tirus, wajah yang terlihat selalu ingin mengajak berantem. Saat salah satunya saya tanya.... Lha gimana saya mau sadar, wong yang di atas saja maaf budhek (tuli). Orang merasa punya skill untuk banyak hal. Pejabat? Maunya mengambil semua sektor untuk kepuasan pribadi. Artis? Ya jadi penyanyi, pengarang, juru da'wah dan juga merambah jadi politisi. Dai? Juga tak kalah. Jadi juru dakwah, politisi, penyanyi, pengusaha. Pengusaha? Maaf, banyak yang 'rakus' bahkan untuk menjadi pejabat... Jadi kalau banyak yang nggak mau mengikuti aturan seperti ngebut di jalan, lampu masih merah sudah jalan, terus maaf, memukul kaca belakang mobil dsb merupakan bagian dari ekspresi 'kekesalan'. Mbak... cape ngliat orang jahat semua. Ya ikutan jahat juga lah, sekalian nyaman. Saya tidak dapat membenarkan alasan ini, namun saya harus juga ikut 'mengerti'.

Lalu, sayapun jadi merenung. Apakah kita selalu ingin menjadi bangsa yang maaf, 'tamak' sehingga untuk itu nggak punya spesifikasi. Maunya, pandai di segala hal, bisa segala hal, menguasai segala hal dan menghabiskan semua. Yang pada akhirnya hanya menambah problema. Mari kita bangun sebuah etika baru. Masih banyak kok yang bisa kita nikmati bersama kalau ada kesadaran untuk itu. Sebuah sungai kecil (creek) dengan semak-semaknya yang kita jaga bersama bisa tampak indah, menyenangkan dan membuat hati nyaman. Tidak harus dengan membangun sebuah 'Wonderful Land' terlebih dahulu.

Dra. Hj. Safira Machrusah, MA (Asian Studies) Hon.
Calon Anggota Legislatif DPR-RI
(Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Daerah Pemilihan Jawa Tengah II
(Demak, Kudus dan Jepara)
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB 13)
Nomor Urut 3