01 Januari 2009

Ketamakan dan 'conflict of interest'

Seorang teman menulis pada saya:

Mbak.... kita masih ingat, beberapa bulan yang lalu PM Thailand (waktu itu) digusur karena tampil di TV (dibayar kecil sekali... konon katanya, dan programnya hanya program 'kuliner' karena dia jago/hobi masak). Beberapa hari yang lalu JK juga membela niat pemerintah untuk membantu kelompok perusahaan nasional dengan menyebutkan ... bahwa Ical tidak bisa didiskriminasi untuk tidak dibantu hanya krn dia duduk dalam kabinet. Link berikut ini juga bisa disimak: http://www.theage.com.au/world/clintons-ready-to-sacrifice-for-plum-job-say-friends-20081118-6aaw.html

Pertanyaan saya, kapan ya para pejabat publik kita (termasuk anggota parlemen tentunya khan ya) sadar bahwa harus ada 'tembok cina' (meminjam istilah para 'investment bankers) antara tugas dan tanggungjawab publik DAN 'private business'?!

Jawaban saya:

Pak, mengenai pertanyaan kapan? Pendapat saya, harusnya sudah dimulai. Kalau belum mulai ya mari dimulai dari sekarang. Saya sangat tertarik mencermati keputusan Theresa Rein (isteri PM Australia saat ini), bahwa begitu Kevin Rudd mulai berkampanye untuk menjadi bakal PM, ia mundur dari posisinya sebagai Dirut Ingeus, sebuah perusahaan multinasional tenaga kerja. Bahkan setelah Rudd jadi PM, kemudian berkembang isu bahwa perusahaan Rein membayar pekerjanya dibawah rata-rata, sang suami ikut menyesali. Dan setelah semua terbayar, Rein lalu menjual perusahaannya supaya tidak terjadi 'conflict of interest' antara 'kekuasaan' dan 'business'. Dengan contoh seperti ini, saya tidak mengatakan bahwa 'orang bule' baik-baik semua, tapi contoh seperti ini perlu untuk ditradisikan dalam demokrasi kita.

Terus terang, saya menyukai betul ujaran Mahatma Gandhi.... We are enough for our need....but, we are not enough for our GREED. Semestinya, semenjak seseorang memangku jabatan yang memberikan LAYANAN PADA PUBLIK, ke-GREEDY-an seseorang tersebut harus segera dipangkas. Caranya ya dengan mengedepankan etika. Kalau menuntut semua ada aturan hukumnya, ya ... nggak selesai-selesai. Sebenarnya dalam bahasa Islam kita memiliki konsep jihadun nafs, jihad melawan hawa nafsu "GREEDY" atau juga konsep wara', menjauhi yang meragukan, atau bahkan konsep itsar, mendahulukan orang lain. Demi kemaslahatan umat juga untuk nama baiknya sebagai pejabat, orang tersebut harus rela melepas semua hal yang bisa 'menghancurkan' reputasinya. Bahwa umat Islam pun dulu pernah punya contoh-contoh teladan seperti itu, ya ada. Mas Taufiq pernah cerita tentang khalifah Umar bin Abdulaziz pada saya. Ia menggambarkan bagaimana khalifah yang tadinya sangat mewah hidupnya itu berubah menjadi sangat sederhana saat menjadi khalifah. Bahkan beliau mengembalikan kepada kas negara makanan yang dibeli dengan uang sendiri namun menggunakan 'kendaraan' negara. Namun, sepertinya, semakin jauh riwayat-riwayat Islam itu, semakin memudar pula hasrat untuk meneladaninya.

Dari intuisi (perlu studi lanjut) saya mendapatkan salah satu alasan kenapa masyarakat banyak yang golput? Atau, ketika saya pada hari- hari saya di jalanan Jakarta, di Yogya, di mana-mana.... melihat banyak wajah yang tirus, wajah yang terlihat selalu ingin mengajak berantem. Saat salah satunya saya tanya.... Lha gimana saya mau sadar, wong yang di atas saja maaf budhek (tuli). Orang merasa punya skill untuk banyak hal. Pejabat? Maunya mengambil semua sektor untuk kepuasan pribadi. Artis? Ya jadi penyanyi, pengarang, juru da'wah dan juga merambah jadi politisi. Dai? Juga tak kalah. Jadi juru dakwah, politisi, penyanyi, pengusaha. Pengusaha? Maaf, banyak yang 'rakus' bahkan untuk menjadi pejabat... Jadi kalau banyak yang nggak mau mengikuti aturan seperti ngebut di jalan, lampu masih merah sudah jalan, terus maaf, memukul kaca belakang mobil dsb merupakan bagian dari ekspresi 'kekesalan'. Mbak... cape ngliat orang jahat semua. Ya ikutan jahat juga lah, sekalian nyaman. Saya tidak dapat membenarkan alasan ini, namun saya harus juga ikut 'mengerti'.

Lalu, sayapun jadi merenung. Apakah kita selalu ingin menjadi bangsa yang maaf, 'tamak' sehingga untuk itu nggak punya spesifikasi. Maunya, pandai di segala hal, bisa segala hal, menguasai segala hal dan menghabiskan semua. Yang pada akhirnya hanya menambah problema. Mari kita bangun sebuah etika baru. Masih banyak kok yang bisa kita nikmati bersama kalau ada kesadaran untuk itu. Sebuah sungai kecil (creek) dengan semak-semaknya yang kita jaga bersama bisa tampak indah, menyenangkan dan membuat hati nyaman. Tidak harus dengan membangun sebuah 'Wonderful Land' terlebih dahulu.

Dra. Hj. Safira Machrusah, MA (Asian Studies) Hon.
Calon Anggota Legislatif DPR-RI
(Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Daerah Pemilihan Jawa Tengah II
(Demak, Kudus dan Jepara)
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB 13)
Nomor Urut 3

Tidak ada komentar: