16 Desember 2008

Ibadah Haji dan Toleransi

Bismillah wal hamdulillah.

Kesaksian para jemaah haji

Coba kita sedikit membayangkan. Siang itu sudah lewat Dzuhur. Anda berada di puncak sebuah bukit. Anda menengok ke kiri dan ke kanan. Yang terlihat adalah lautan, tapi bukan air. Ini lautan manusia dan tenda. Lebih dari 2 juta orang berkumpul saat itu. Semua berada di sekitar bukit tempat anda berdiri. Hampir semua terlihat memakai kain putih. Sebagian orang sedang berjalan. Ada pula yang tengah duduk. Ada yang sedang mendaki bukit, ada yang lagi turun. Ada yang di bawah terik matahari, ada pula yang berteduh di bawah tenda. Anda melihat mulut mereka bergerak-gerak, komat-kamit, berdzikir, berdoa, bermunajat. Wajah mereka terlihat antara haru dan gembira. Semua larut dalam perasaannya masing-masing. Nah, sekarang silahkan membuka mata.


Itulah pemandangan saat lebih dari dua juta anak manusia wuquf di Arafah. Berhenti dari kehidupan rutin dan mencoba dekat dengan Allah. Meninggalkan sanak, keluarga bahkan mungkin wadaknya sendiri untuk bertemu Allah. Dalam sebuah wawancara dengan Saudi Gazette, Isack Aly Amade dari Mozambique bercerita bahwa ia kehilangan kata-kata untuk mengekspresikan batinnya saat haji. Berdiri terpaku saat berada di Arafah, ia seakan merasa berada di Hari Kiamat (Hari Perhitungan) “saat setiap jiwa harus mempertanggung-jawabkan amal-amalnya.”


Memang, saat berada di depan Mahkamah Allah semua orang sama. Seperti juga saat para jemaah haji itu di Arafah, mereka terlihat hampir seragam. Tak ada terlintas status sosial mereka. Rawin Kunkongkaphan, dari Bangkok, Thailand, bercerita pada Saudi Gazette, bahwa haji adalah pertemuan religius terbesar di dunia. Ia mengumpulkan hampir 3 juta orang di satu tempat. “Hajj is an amazing event if you look at different people coming from different parts of the world. When they put on Iharm they all become brothers.” Selanjutnya, ia berpendapat bahwa haji mendorong semua orang Islam untuk bersatu dan berjihad demi kedamaian dunia.


Hal senada diungkapkan oleh Habib Allah pada CNN. Warga Pakistan yang berumur 24 tahun ini belum pernah meninggalkan negerinya sebelum berhaji. Ia mengatakan bahwa ia merasa melihat “dunia secara utuh” di Mekah, Arab Saudi. “Saya merasa kita semua seperti saudara.” “I never thought about this before. The hajj has changed my thoughts about other Muslims from other countries. The hajj has united us as Muslims and as brothers.” Ia melanjutkan, “Setelah saya melaksanakan Haji, saya merasa bahwa dunia sangat kecil dan kami semua saling berbagi tempat ... bumi ini. Kita semua harus hidup damai satu dengan yang lain, apakah dengan Muslim atau non-Muslim.”


Ada juga kesaksian dari Roland Boon dari Rotterdam, Belanda, yang juga baru pertama kali berhaji. “The crowd here is really amazing, and I think it is something that you cannot describe in words.” Ini adalah kesempatan untuk menunjukkan pada dunia bahwa “Muslims love peace and want to live in harmony.” “Saya berharap semua orang Islam dapat hidup dengan damai dan melupakan banyak perbedaan di antara mereka.” Dan masih ada lagi beberapa kesaksian yang serupa dari jemaah haji lain dari berbagai negara.


Hasil penelitian Harvard Kennedy School


Apa yang disampaikan para jemaah haji itu sebenarnya tidak jauh beda dengan hasil penelitian yang dimotori oleh David Clingingsmith, Asim Ijaz Khwaja dan Michael Kremer dari Harvard Kennedy School, Amerika. Kertas kerja yang dipublikasikan bulan April 2008 itu berjudul Estimating the Impact of the Hajj: Religion and Tolerance in Islam’s Global Gathering”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2006 dan menggunakan uji statistik terhadap 1.600 responden jemaah haji Pakistan yang lolos undian maupun yang tidak lolos undian, 5-8 bulan setelah pulang dari ibadah haji. Sekedar informasi, Pakistan menerapkan sistem undian untuk membatasi jumlah jemaah hajinya sesuai dengan aturan kuota dari Saudi Arabia.


Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan di antaranya: ibadah haji menciptakan perasaan bersatu di antara umat Islam dan meningkatkan praktek-praktek religius yang bersifat global dan kemungkinan mengurangi bentuk-bentuk praktek lokal.


Pengalaman berkumpul dengan orang banyak dari berbagai negara tidak selalu membuahkan sikap positif terhadap yang lain. Hal itu tergantung dari jenis perkumpulan itu, kompetitif atau kooperatif. Ibadah haji terbukti membuahkan perasaan dan sikap positif terhadap bangsa lain dan memperkuat perasaan persatuan umat Islam. Memang saat beribadah haji, setiap jemaah berkumpul sekitar 2 sampai 4 minggu bersama jutaan umat Islam yang lain dari berbagai negara dan melakukan aktifitas yang sama, shalat berjamaah, thawaf bersama-sama, dll. Apalagi saat semua jemaah mengenakan kain ihram. Hampir semua mengenakan pakaian putih dan simpel. Semua menyiratkan kebersamaan.


Di samping itu, meski terhalang oleh banyak kendala, sebagian besar responden penelitian (66%) menyatakan bahwa selama menjalankan ibadah haji mereka melakukan interaksi dengan jemaah haji dari negara lain. Interaksi serta observasi yang kooperatif ini mendorong munculnya perasaan persatuan di antara umat Islam. Satu hal yang menarik, bahwa sebagian besar responden dari Pakistan ini menyatakan bahwa jemaah haji Indonesia adalah kelompok Muslim yang terbaik dalam melaksanakan agama Islam (p.16).


Lebih dari munculnya perasaan bersatu, ibadah haji juga mendorong agar umat Islam bisa hidup harmonis dengan perbedaan-perbedaan yang ada (p.19). Jemaah haji yang merasakan sikap positif terhadap orang atau bangsa lain, dalam penelitian itu juga menyatakan adanya persamaan (equality) di antara berbagai kelompok umat Islam, bahwa satu kelompok dengan kelompok yang lain adalah sederajat. Dan semestinya semua menghargai perbedaan masing-masing. Bahwa kehidupan yang harmonis bisa dibangun dengan menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan di antara umat Islam tanpa mengecilkan pihak lain. Hal ini terdorong di antaranya dengan melihat dan menyaksikan adanya perbedaan madzhab dalam menjalankan ibadah. Misalnya, meski berbeda dalam detail, toh mereka bisa shalat berjamaah bersama-sama.


Apakah sikap positif itu juga melebar ke orang atau bangsa lain non-muslim? Penelitian tentang haji ini menjawab dengan affirmatif. Ya. Terbukti bahwa ibadah haji mendorong para jemaah untuk cenderung lebih mensupport perdamaian. Misalnya dengan menyatakan bahwa metode-metode Osama bin Laden keliru atau bahwa menjalankan perjanjian damai Pakistan dengan India adalah sangat penting.


Secara individual, ibadah haji juga biasanya membuahkan pengalaman relijius “merasa dekat dengan Allah”. Dalam penelitian haji itu dinyatakan bahwa jemaah haji sepulang dari Mekkah semakin dianggap atau mungkin juga merasa sebagai orang yang lebih relijius. Karenanya, hasrat untuk meningkatkan berbagai jenis ibadah sunnah semakin menonjol, terutama ibadah-ibadah yang secara umum diterima umat Islam, misalnya berpuasa di luar Ramadhan dan shalat tahajjud. Di samping itu, ada juga kemungkinan bahwa praktek-praktek yang bersifat sangat “lokal” dan cenderung “kontroversial” semakin berkurang karena sudah haji. Di antara praktek-praktek itu misalnya pemakaian jimat dan pembayaran dowry saat pernikahan.


Di samping dampak-dampak di atas ada juga dampak positif lain dalam sikap terhadap perempuan. Di antaranya dengan menerima perempuan bekerja, perempuan terdidik dengan baik. Dengan kata lain, ibadah haji mendorong seseorang untuk “more religious, more united, more tolerant, more open-minded, more global, less local and less sexist”. Dan yang barangkali perlu juga digarisbawahi bahwa perubahan tersebut lebih didorong oleh pengalaman relijius selama menjalakan ibadah haji di banding merupakan hasil edukasi para ulama atau karena perubahan status sosial setelah pulang.


Toleransi beragama


Dalam penelitian yang telah saya sebutkan tadi terlihat bahwa ibadah haji mendorong seseorang untuk bersikap toleran. Dalam pembicaraan toleransi atau toleransi dalam beragama, menurut hemat saya sering disalahartikan sehingga mengundang “kontroversi”. Toleransi dalam bahasa Indonesia yang saya pahami merupakan kata pungut dari tolerance dalam bahasa Inggris. Kata itu sendiri adalah kata pungut dari bahasa Latin tolerantia yang masuk dalam kamus Inggris lewat bahasa Perancis Kuno. Berasal dari kata tolerare yang artinya adalah “endure atau tangguh. Dalam kamus Concise Oxford English Dictionary kata tolerate yang menjadi asal kata tolerance diartikan “allow the existence or occurrence of (something that one dislikes or disagrees with) without interference or endure (someone or something unpleasant) with forbearance”. Atau kalau kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia kira-kira, sikap untuk menerima adanya seseorang atau paham yang tidak disukai atau ditolak tanpa ikut campur tangan dengan orang atau faham itu. Hal itu muncul karena adanya keteguhan dan kesabaran pihak yang lain.


Dengan demikian sikap toleran itu pada awalnya lebih bersifat passif. Selama saya misalnya, dapat menerima bahwa si polan itu berbeda dengan saya dalam praktek agamanya dan saya tidak ikut campur tangan mengenai praktek itu maka saya sebenarnya sudah toleran. Memang sebagaimana sudah lazim setiap ada hak, maka hak itu akan dibatasi oleh hak orang lain. Maka kalau satu praktek keagamaan itu merugikan dan mencederai hak pihak lain, maka membiarkan saja hal itu sudah merupakan bentuk “toleransi” (kalau bisa dikatakan begitu) yang tidak semestinya.


Dalam agama Islam, menurut yang saya mengerti, banyak ajaran yang mendorong untuk menerima adanya perbedaan dan bahkan untuk menghargai orang-orang yang memiliki pemahaman yang berbeda itu. Misalnya, di dalam Al-Quran surat Al-Baqarah (2:256), Allah swt berfirman:

لا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

Yang artinya kira-kira “Tidak ada paksaan dalam hal beragama. Sungguh telah terang mana jalan yang benar dari yang keliru.” Atau juga ayat lain dalam surat Hud (11:118),

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ

Yang artinya kira-kira, “Kalau Tuhanmu, Muhammad, menghendaki niscaya Dia akan jadikan semua manusia itu satu ummat saja. [Namun Ia biarkan sehingga] mereka selalu saja berbeda.”


Rasulullah saw pun menunjukkan hal itu dengan aksi nyata beliau. Misalnya saat seorang Yahudi meninggal dunia dan jenazahnya lewat di depan beliau, Rasulullah saw langsung bangkit memberikan penghormatan. Para sahabat pun ikut berdiri. Lalu seseorang berkata, “Itu adalah jenazah seorang Yahudi.” Rasulullah menjawab, “Bukankah ia juga orang yang berjiwa?” (Sahih Bukhari dan Muslim).


Sikap toleransi yang pada mulanya berbentuk passif, atau kalau pun aktif masih dalam bentuk menghargai orang yang berbeda, terkadang diminta juga diekspresikan dalam bentuk aktif, misalnya dalam berupa kerjasama. Dan toleransi akhirnya diartikan sebagai "kerjasama". Nah, sebagian bentuk-bentuk ekspresi toleransi aktif inilah yang kemudian misleading. Alih-alih prinsip “tidak ikut campur tangan” yang terkandung dalam kata toleransi menjadi diartikan sebagai “mengalah dan mencampur adukkan antara prinsip-prinsip yang berbeda.” Sehingga toleransi yang memiliki konotasi positif, kemudian tercemar dan kadang mengandung konotasi negatif.


Terakhir, saya ingin mengutip satu ayat dari surat Al-Mumtahanah yang merupakan prinsip besar yang saya pelajari dalam berbuat baik kepada semua umat manusia. Intinya, selama tidak ada konteks yang menghalangi perbuatan baik itu menjadi bumerang bagi dirinya, berbuat baik kepada semua umat manusia perlu dilakukan.

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Yang artinya kira-kira, "Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."


Wallahu a'lam bish shawab. Wallahul muwaffiq ilaa aqwamith thariq.




Muhammad Taufiq Prabowo


Sumber:


Al-Quran

Hadits Sahih Bukhari dan Muslim

http://www.saudigazette.com.sa/index.cfm?method=home.regcon&contentID=2008121024008

http://www.cnn.com/2008/LIVING/12/08/hajj.tolerance/index.html

David Clingingsmith, Asim Ijaz Khwaja & Michael Kremer, 2008, “Estimating the Impact of the Hajj: Religion and Tolerance in Islam’s Global Gathering”, Faculty Research Working Papers Series, April 2008, RWP08-022, http://ksgnotes1.harvard.edu/Research/wpaper.nsf/rwp/RWP08-022

Concise Oxford English Dictionary

4 komentar:

Arief Ulyanov mengatakan...

Hal yang dibutuhkan Islam melalui haji adalah lebih dari sekedar toleransi terhadap sesama. "Pertemuan" jutaan muslim se-dunia di Tanah Suci itu seharusnya juga mampu mencarikan solusi bagi berbagai masalah di negara muslim miskin, terbelakang, tertinggal dan tertindas oleh negara lain. Haji selayaknyalah dijadikan semacam konferensi atau muktamar umat Islam se-dunia. Tidak sekedar menyepakati (ulang) bahwa kita (muslim) adalah cinta perdamaian dan harus saling toleran. Bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin, itu benar. Tapi, tunjukkan, jangan katakan!

Safira Machrusah mengatakan...

Di sebagian milis ada yang memberi komentar begini. Tidak ada kaitan antara persaudaraan umat Islam sedunia dalam satu warna pakaian ihram dengan toleransi antar agama. Logikanya tidak nyambung.

Nah, berikut jawaban dari penulisnya. Kalau sampeyan tidak bisa menemukan logika yang nyambung antara "persaudaraan umat Islam sedunia dalam satu warna pakaian ihram" dengan "toleransi antar agama" itu barangkali karena sampeyan biasa mengikuti logika binar yang mengasumsikan bahwa kalau satu kelompok mengkonsolidasikan diri maka akan muncul sikap menyepelekan atau bahkan memusuhi kelompok lain. Dalam kasus ini, asumsi yang dipikirkan (kalau di penelitian itu sih disebutkan "negaranya orang bule") adalah bahwa: Jemaah haji yang kumpul bareng, ngobrol, ibadah bareng, pakai ihram itu kemudian terdorong untuk semakin merasa bersaudara (atau "persaudaraan umat Islam sedunia dalam satu warna pakaian ihram") akan juga terdorong untuk "memusuhi" umat lainnya atau "tidak toleran". Memang sebagian sosiolog seperti Tajfel berpendapat seperti itu dan itu juga dirujuk oleh penelitian haji itu "the idea that strengthening the attachment to an in-group may lead to more negative feelings towards an out-group."

Justru analisis dikotomis seperti inilah yang berusaha ditolak oleh penelitian tentang haji tersebut. Dan itu ternyata dapat dibuktikan. Jemaah haji yang semakin kuat rasa persaudaraannya di satu sisi, justru semakin "open minded" dan memiliki sikap toleran terhadap bangsa dan agama lain di sisi lain. Kalau dianalogikan lewat bahasa Indonesia, itu kira-kira bergerak dari "kami" (atau we exclusive) menuju "kita" (atau we inclusive). Dan bukan dari "kami" untuk berbeda dengan "mereka" (we vs they). Kalau kata penelitian itu "Our evidence suggests that while Hajjis positively update their views towards groups they were exposed to on the Hajj, this positive updating also extends to their views on groups they were not exposed to."

Dalam tulisan saya di atas "Ibadah Haji dan Toleransi" sebenarnya hubungan antara hal-hal di atas itu disinggung, meski singkat (maklum untuk bahan diskusi pengajian). Misalnya di tulisan itu disebutkan:

Lebih dari munculnya perasaan bersatu, ibadah haji juga mendorong agar umat Islam bisa hidup harmonis dengan perbedaan-perbedaan yang ada (p.19). ... Bahwa kehidupan yang harmonis bisa dibangun dengan menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan di antara umat Islam tanpa mengecilkan pihak lain. ... Apakah
sikap positif itu (maksudnya, keinginan untuk hidup harmonis dengan semakin "toleran" atau menghargai pihak lain sesama muslim itu) juga melebar ke orang atau bangsa lain non-muslim? Penelitian tentang haji ini menjawab dengan affirmatif. Ya (maksudnya jemaah haji ternyata juga toleran terhadap agama lain atau orang dengan agama lain).

Kalau kemudian tulisan itu ditutup dengan pembicaraan tentang "toleransi beragama" atau sebetulnya CUKUP kata toleransi saja, itu karena ada kejumbuhan di sebagian benak warga Indonesia tentang arti toleransi. Toleransi terkadang diartikan sebagai "kerjasama" sehingga kalau dilakukan persamaan "toleransi beragama" = "kerjasama beragama". Tentu persamaan seperti ini "misleading" dan oleh karenanya muncul kata-kata sebagian ustadz "tidak ada toleransi dalam aqidah". Lho, kok jadi gitu? Wong toleransi itu menurut bahasa adalah "sepakat untuk berbeda dan tidak saling mengganggu" sehingga harusnya "toleransi beragama" diartikan "sepakat untuk saling beda aqidah tanpa saling utak-atik aqidah orang lain sebagai bentuk rasa respek". Dan BUKAN "mari kerjasama hari ini aqidahmu kita pakai besok aqidahku". Karena YANG TERAKHIR ini BUKANLAH toleransi namanya.

Jadi Ibadah Haji memang mendorong Toleransi (tanpa atau dengan embel-embel apa pun). Wallahu a'lam bish shawab.

kopi kental mengatakan...

(sekedar contoh) Duta Besar Iran Behrooz Kamalvandi pernah mengatakan, dulu (sebelum invasi AS ke Irak) kaum Syiah dan Sunni di Irak hidup damai dan saling menghormati. Begitu pun hubungan muslim dengan nonmuslim.

Sekarang, kerukunan itu dirusak "orang luar". Artinya, mereka (sudah) tidak (terlalu) butuh lagi toleransi itu karena mereka sudah cukup toleran. Muslim se-dunia pun, saya kira, juga tidak terima kalau saudara sesama muslim di Irak (dan juga negara2 muslim lainnya) ditindas "bangsa" lain. Itu saja sudah cukup untuk meyakinkan bahwa sesungguhnya sesama muslim merasa bersaudara. Tanpa ada penelitian itu pun, muslim se-dunia sudah merasa bersaudara. Saya yang tidak (pernah) ber-haji pun merasa bersaudara dengan muslim lainnya (juga umat penganut agama lainnya).

Tapi...tentu mereka (dan kita yang muslim) tidak butuh cukup bersaudara. Apalah artinya punya saudara kalau saudara kita tidak dapat membantu jika kita sedang dalam kesulitan (ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya). Perasaan saling bersaudara saja tidak cukup untuk mengentaskan muslim dari ketertinggalan ekonomi, sosial, politik, dan lain-lain. Itu yang saya maksud, bukan nyambung atau tidak nyambungnya pakaian ihram dengan toleransi.

Anonim mengatakan...

Nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah haji seperti toleransi, kebersamaa, persaudaraan dll kalau itu diimplementasikan dalam kehidupan sehari... niscaya akan membawa bahkan menjadi syiar Islam yang luar biasa..h alangkah indahnya Islam ini.. bagi orang2 yang mengetahui dan mengamalkannya.. amin salam kenal mbak hajjah yg terhormat..