06 Oktober 2008

Memperjuangkan Nasib Tenaga Kerja Migran

Ini tulisan saya di salah satu milis tentang upaya memperjuangkan TKI.

Salam,


Maaf ya saya baru saja membaca emailnya. Saya nggak tahu kalau saya diminta
komentarnya. Barangkali fikiran saya sama dengan teman2 yang lain di milis ini
ketika waktu itu saya belum membahas RUU ketenagakerjaan. Mulai dari melakukan
kritik tajam terhadap perilaku pemerintah, mengasihani para tki +tkwnya sampai
kemarahan saya kepada para negara penerima tkw atas perlakuan yang dalam
pandangan saya "kelewat-lewat".

Akan tetapi, ketika pembahasan RUU itu dimulai, dari situ saya mulai menyelami
semua reasoning dibalik suka duka tki. Ketika pak Yacob Nuwawea insist supaya
RUU itu harus diterima dan disahkan dan mengancam kalau tidak disahkan beliau
mau menggagalkan RUU itu, saya langsung menanyakan, "Pak, andaikata maaf ya,
kalau bapak tidak lagi menjabat sebagai menteri tenaga kerja, apakah bapak
memandang UU ini nantinya akan membela kepentingan rakyat? Dan apakah dengan
adanya UU ini bapak merasakan, nantinya tidak akan menguntungkan PJTKI, karena
pemerintah benar2 mengurus TKI ini sama dengan cara profesional yang dilakukan
oleh pemerintah Filiphina? Saya hanya ingin menggaris bawahi sikap bapak yang
sangat menginginkan anggota dewan supaya koor dengan pemerintah". Pak Yacob
sedikit agak tercenung, lalu beliau bilang: "Terimakasih saudari, kalau saya
nanti tidak lagi jadi menteri, saya sama sekali tidak akan membuka perusahaan
PJTKI, karena urusannya sungguh rumit, dan ini menyangkut manusia.
Kita ini bukan dagang barang, tapi manusia. Saya hanya ingin mereka itu
diperlakukan dengan lebih baik". Lalu saya jawab lagi, "Terimakasih pak, itu
nanti yang akan saya tunggu. Semoga konsisten".

Mulai dari situ kami membahas tentang RUU ketenaga kerjaan, buruh migran. Terus
terang karena pada mulanya saya agak awam dengan materi itu, saya memang kurang
berpartisipasi dengan RUU ini. Saya sesungguhnya mengharapkan kawan2 aliansi
buruh atau siapapun yang jadi pemerhati masalah buruh datang, menggawangi RUU
ini sama dengan ketika kawan2 LSM perempuan menggawangi RUU KDRT. Sayangnya,
hanya sehari kawan2 dari LSM duduk di balkon, tanpa satupun "berani"
berkomentar, misalnya "huu" atau "tepuk tangan" terhadap beberapa usulan yang
sungguh2 membela nasib TKI. Sudah begitu kawan2 tidak ada yang memberikan
leaflet ttg kondisi buruh, kekerasan atau data2 yang bisa dijadikan
pertimbangan oleh kita. Baru ketika saya mendapatkan bahan2 yang saya cari
betul dimanapun, saya berani berkomentar dan melakukan kritik tajam.
Ada dua hal yang saya dengan didukung kawan2 senior saya di dewan, berhasil
digolkan. Pertama (kalau nggak salah, saya agak lupa materinya ada di Indo),
memperhatikan kesetaraan gender dan akuntabilitas publik.Ketika saya membolak
balik RUU itu sama sekali tidak ada kata2 tersebut, padahal dua hal ini sangat
substansial dalam memahami seluruh persoalan tki. Misalnya siapa sih yang
selalu jadi victim? mayoritas adalah perempuan, lalu siapa yang diuntungkan
dengan perolehan yang didapat? PJTKI dan pemerintah Indonesia (banyak sekali
uang siluman yang beredar di kalangan PJTKI dan partly pemerintah, dan tak
jarang oknum di kedutaan dibantu 'masyarakat' Indonesia di luar negeri
melakukan kolaborasi terselubung).

Saya melihat bahwa tki ini adalah kasus mafia perdagangan yang sudah sangat
solid. Jadi untuk memreteli, mengupas satu demi satu memang harus dengan penuh
kehati2an dan kesabaran. Pada saat pembahasan, dari kami hanya dua orang, saya
dengan pak Sayuti. Basis pemikiran ketika saya membahas cuman satu, mayoritas
tki ini adalah masyarakat NU yang miskin. Jadi kami berdua bersama dengan
kawan2 yang berniat membela "kaum miskin" berusaha supaya fungsi PJTKI
diminimalisir, lalu tugas pemerintah mengorganisir tki ini harus melalui satu
pintu. Hasilnya, nama PJTKI sudah dirubah (saya lupa), kedua syarat untuk
pendirian PJTKI harus dirubah, diatas 1 M (meminimalisir pjtki liar yg kata pak
Yacob banyak dijumpai di daerah Condet), harus ada perjanjian antara calon tki,
biro yang menangani tki di luar negeri dan PJTKI dan pemerintah ttg tugas2 apa
yang nantinya akan dilakukan oleh tki tersebut (misalnya mengatasi kasus dimana
seorang muslim tki bekerja di restoran yang banyak menggunakan bahan2
yang berkaitan dengan makanan yg haram dimakan oleh Islam, supaya dari awal
calon tki tahu lebih dahulu). Lalu pemerintah harus bertanggung jawab terhadap
calon tki tersebut mulai dari pemberangkatannya dari daerah asal sampai tujuan,
di daerah tujuan sampai pulang kedaerah asal TKI tersebut (meminimalisir calo2
di bandara terutama). Pemerintah diminta mengusahakan supaya tki harus memiliki
tabungan dan medicare (kartu kesehatan). Pemerintah harus juga menyediakan
pusat pelatihan tki, sebelum mereka berangkat. Kalau tidak memenuhi syarat
(pendidikan), TKI TIDAK BOLEH berangkat. Hanya PJTKI yang terakreditasi saja
yang boleh menyelenggarakan. Hal ini dimaksud untuk mengatasi calon2 tki yang
hanya lulusan SD atau tidak sekolah sama sekali dan meminimalisir PJTKI yang
"asal" mentraining calon tki.. Pemerintah juga harus benar2 memeriksa identitas
calon tki, yang seringnya "berbohong" dengan identitasnya sendiri, supaya semua
identitas, harus dilegalisir lagi oleh pejabat yang berwenang
(misalnya lurah, camat dsb). Pemerintah juga harus memeriksa lokasi PJTKI,
apakah ruangannya, kamarnya memadai dan sesuai dengan syarat kesehatan buat
calon2 tki. Pemerintah harus benar2 menyediakan semua informasi ttg hal2 yang
harus dilakukan oleh tki setibanya di daerah tujuan. Misalnya info ttg telpon
yang harus dihubungi ketika terjadi kasus dsb.

Untuk mengatasi paspor memang masih berat, karena banyak kasus dimana tki,
karena tidak cocok dengan majikannya, tiba2 pindah karena diberitahu temannya
bahwa majikan yang lain lebih baik. sebaliknya ada juga kasus ketika tkimau
pulang karena suaminya meninggal, terpaksa tidak bisa pulang karena paspor
dibawa majikan dan kebetulan majikannya pergi keluar negeri. Saya kira urusan
perpasporan harus menggunakan perjanjian bilateral antar dua negara, jadi dalam
hal ini harus berkaitan dengan deplu. Usulan lain yang waktu itu kita inginkan,
adalah membuat atase ketenaga kerjaan di setiap negara yang bersangkutan dengan
tkw Indonesia.Alasan kita adalah agar khusus tkw ditangani secara serius oleh
bagian yang bersinggungan langsung dengan ketenaga kerjaan terutama tki, bukan
oleh embassy atau wakil pjtki di luar negeri. Sebetulnya sudah disetujui oleh
semuanya, hanya pada waktu itu penasehat hukum, bapak Gani mengingatkan, kalau
untuk masalah ini harus dikonfirmasikan dengan komisi satu
yang membidangi masalah luar negeri. Oleh komisi satu diminita supaya usulan
atase ditunda dulu sebelum ada pembicaraan lebih lanjut antara deplu, depnaker
( pembicaraan lintas komisi dan departemen).

Sementara, itu saja yang bisa saya informasikan. Saya kira apa yang
diperjuangkan oleh legislatif sudah cukup maksimal pada saat itu. Mengenani
kasus2 yang berkaitan dengan domestic violence, nakalnya majikan tidak membayar
dsb2, itu merupakan bagian dari akumulasi ketidak becusan pemerintah sejak
awalnya, sehingga mulai dari tki2 nya yang 'bonek" diterima oleh PJTKI yang
asal, disetujui oleh pemerintah yang "abs" dan membeo dengan aturan fihak asing
karena "butuh duit". Saya fikir, mulai jaman Habibie hingga sekarang sudah
banyak perubahan2, yang saya kira tidak sedikit, yang kadang oleh "bawahan"
masih juga nggak dituruti. Kalau yang terakhir ini masalah mental, kinerja dan
kebiasaan yang suka 'korup'. Sebaiknya kita double sided dalam memandang
masalah tki ini, supaya kita tetap bisa mencari jalan yang terbaik agar nasib
tki dimasa mendatang tidak lagi menderita. Intinya, kalau masalah 'perut' ini
bisa diatasi oleh pemerintah, insya Allah masalah tki tak lagi menjadi
"masalah". Semoga.

Salam,


Safira Machrusah [Rosa]
Calon Anggota Legislatif DPR-RI
Daerah Pemilihan Jawa Tengah II
Demak, Kudus dan Jepara)

http://safiramachrusah.blogspot.com
PILIHLAH WAKIL YANG MEMPERJUANGKAN KEPENTINGAN ANDA

Tidak ada komentar: