08 Oktober 2008

Nahdliyin yang Selalu Diperebutkan


Sumber: Kompas.Com; Kamis, 18 September 2008

Oleh M HERNOWO

Selain militer, Nahdlatul Ulama atau NU adalah pi­hak yang paling sering di­perbincangkan dalam sejarah pemilihan umum di Indonesia. Arah angin dukungan kelompok ini selalu diperhitungkan oleh mayoritas peserta pesta demo­krasi di Tanah Air.

Datangnya era reformasi pada tahun 1998, yang membuat mi­liter kembali ke barak dan tidak terlibat lagi dalam aktivitas so­sial politik praktis, telah menu­runkan peran mereka dalam pe­milihan umum. Namun, tidak demikian dengan nahdliyin, se­butan untuk warga NU. Mereka justru semakin diperebutkan.

Tingginya minat terhadap nahdliyin terlihat jelas, misalnya, dalam pemilihan presiden 2004. Saat itu tokoh NU diperebutkan berbagai pihak, mulai dari Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi yang digandeng Megawati Soe­karnoputri, Salahuddin Wahid yang mendampingi Wiranto, hingga Jusuf Kalla yang akhir­nya memenangi pertarungan bersama dengan Susilo Bambang Yudhoyono.

Besarnya daya tarik nahdliyin ini terutama disebabkan oleh besarnya jumlah mereka. Meski tidak ada data pasti, sekitar 30 persen pemilih di Indonesia di­yakini warga NU. Jadi, jika Pe­milu 2009 diikuti 172 juta pe­milih, 51,6 juta di antaranya me­rupakan nahdliyin. "Warga NU merupakan potensi besar di pe­milu. Untuk memenangi pemilu, sebuah partai politik cukup me­nampung semua suara mereka," kata Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari.

Masalahnya, suara nahdliyin diduga tidak sebulat suara pe­milih tradisional lain di Indo­nesia, misalnya kaum nasionalis. Gejala ini, misalnya, terlihat da­lam pemilihan gubernur Jawa Timur (Jatim); tempat budaya NU paling mengakar, Juli lalu.

Kaum nahdliyin, yang diper­kirakan mencapai 70 persen atau 21 juta dari 30 juta pemilih di Jatim, terutama terkonsentra­si di Pulau Madura dan wilayah timur provinsi itu yang disebut dengan kawasan tapal kuda. Se­dangkan bagian barat Jatim, yang biasa disebut wilayah Ma­taraman, menjadi basis kaum nasionalis.

"Nasionalis kuat di Matara­man karena di wilayah itu ba­nyak berdiam orang abangan dan keyakinan tradisional. Me­reka merasa aman jika berga­bung dengan parpol nasionalis," kata Ayu Sutarto, budayawan dari Universitas Jember, Jatim.

Dalam Pilkada Jatim lalu, se­banyak 27,73 persen dari 3.605.106 suara yang diperoleh pasangan Sutjipto-Ridwan Hi­sjam berasal dari wilayah Ma­taraman. Pasangan ini diusung Partai Demokrasi Indonesia Per­juangan (PDI-P), parpol yang di­sebut mewakili kepentingan ka­um nasionalis di Indonesia. Sua­ra yang diperoleh pasangan itu tidak berbeda jauh dari suara PDI-P pada Pemilu 2004 di Ja­tim yang mencapai 4.325.918 suara.

Relatif solidnya suara kaum nasionalis ini berbanding terba­lik dengan suara yang diperoleh pasangan yang didukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Achmady-Suhartono. Mereka hanya mendapat 1.397.291 suara.

Selain merupakan perolehan suara terkecil dibandingkan dengan empat pasangan lain pe­serta pilkada, perolehan suara pasangan itu juga jauh di bawah perolehan PKB pada Pemilu 2004 di Jatim yang mencapai 6.297.366 suara.

Agak sulit diterima jika ren­dahnya perolehan suara pasang­an Achmady-Suhartono karena suara kaum nahdliyin juga di­perebutkan calon lain seperti Khofifah Indar Parawansa dan Saifullah Yusuf, yang akhirnya maju ke putaran kedua pada November mendatang, atau mantan Ketua Dewan Pengurus Wilayah NU Jatim Ali Maschan Moesa. Sebab, suara kaum, na­sionalis juga diperebutkan oleh Soekarwo yang berpasangan de­ngan Saifullah Yusuf dan Soe­narjo yang berdampingan de­ngan Ali Maschan.

"Hasil Pilkada Jatim, pertama, menunjukkan kekalahan calon yang didukung PKB karena pil­kada lebih ditentukan oleh figur. Kedua, kekalahan Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Ketiga, baru kekalahan PKB sebagai se­buah partai," kata Qodari. Ke­kalahan PKB ini diduga teru­tama disebabkan oleh konflik berlarut-larut yang terjadi dalam partai itu.

Terfragmentasi

Melihat hasil Pilkada Jatim, suara kaum nahdliyin diperkira­kan juga akan terpecah pada Pe­milu 2009. "Jika PKB berhasil menyelesaikan konfliknya dan Gus Dur kembali aktif di parpol itu, suara nahdliyin tetap akan banyak yang diberikan ke PKB. Sisanya tersebar ke sejumlah parpol seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang me­rupakan rumah lama NU, Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) sebagai rumah baru NU, hingga Golkar dan PDI-P," duga Qodari.

Jika konflik di PKB tidak juga terselesaikan hingga Pemilu 2009 dan Gus Dur menyatakan golput, Qodari memperkirakan suara PKB dapat turun hingga sekitar 50 persen dibandingkan dengan perolehan mereka pada Pemilu 2004 yang men­capai 12.002.885. Sebab, bagaimanapun, Gus Dur adalah roh PKB.

Kemungkinan terjadi perpin­dahan suara dari PKB ini sudah diantisipasi sejumlah parpol se­perti PKNU.

Namun, meski PKB solid, parpol itu tetap akan sulit mem­peroleh suara semua nahdliyin. Sebab, seperti dituturkan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga, Kacung Maridjan, fragmentasi suara nahdliyin ke beberapa kekuatan politik bukan hal yang baru terjadi. Fenomena ini sudah terlihat terutama sejak 1984 ketika NU menyatakan kembali ke Khittah 1926, yaitu kembali menjadi organisasi so­sial keagamaan.

"Sebelum 1984, suara NU memang terkonsentrasi ke par­pol tertentu, khususnya PPP. Namun, setelah itu hingga sekarang, warga NU tersebar di mana-mana," tutur Kacung.

Airlangga Pribadi Usman, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, berpendapat, semakin independennya pilihan nahdliyin merupakan kemajuan penting dalam demokrasi. Sebab, hal ini membuat parpol tidak dapat hanya mengandalkan kekuatan tradisional atau aspek primor­dial untuk memperoleh suara nahdliyin. Apalagi di tengah semakin banyaknya parpol yang dapat dipilih nahdliyin.

Tidak ada komentar: