Dengan ditetapkannya keputusan tentang anggota legislatif berdasarkan jumlah suara terbanyak oleh MK, dua suara di tengah masyarakat, baik mereka yang optimistis, maupun yang pesimistis, sering saya dengar. Para pejuang langkah afirmatif bagi caleg perempuan banyak yang mengeluh karena khawatir akan efeknya, yaitu representasi perempuan yang kemungkinan besar menurun. Diantaranya, disebabkan perempuan kalah 'start'. Sementara itu, di antara para caleg saya mendengar keluh kesah mereka karena harus (dipaksa/terpaksa) bersaing dengan 'teman' sendiri. Bahkan ada beberapa pemberitaan 'character assassination' antar caleg separtai.
Mereka yang optimistik, terutama adalah para caleg yang tadinya masuk 'nomor sepatu'. Menyusul keputusan tersebut, sekarang terbuka 'kesempatan baru'. Para pengritik 'oligarki' di partai politik pun juga sangat optimistis, bahwa keputusan MK bakal memutus rantai oligarki itu.
Saya sendiri berdiri di antara keduanya. Dengan adanya keputusan MK, di satu sisi memang ada kemungkinan baik bagi saya, bisa terpilih. Padahal tadinya, sebelum ada keputusan ini, dengan hitungan teori kemungkinan, nomer urut saya yang nomor tiga itu, kecil peluangnya untuk bisa terpilih. Tetapi sekarang, barangkali, kalau Tuhan menghendaki, saya akan bisa mewakili konstituen.
Namun di sisi lain, proses 'liberalisasi sistem pemilihan' (seperti disebutkan Kompas) juga membersitkan beberapa kekhawatiran. Seperti yang lain, saya cukup khawatir bahwa representasi perempuan di DPR untuk 5 tahun ke depan kemungkinan semakin surut. Hal ini berangkat dari pengalaman 'liberalisasi' politik paska Soeharto. Terjadi penurunan tajam dari jumlah perempuan anggota DPR hasil Pemilu 1999 bila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. 'Liberalisasi' yang kedua ini, ada kemungkinan akan membawa dampak yang sama.
Kekhawatiran menurunnya jumlah anggota DPR perempuan, bukan sekedar karena saya perempuan, namun karena dampaknya yang cukup fatal bagi kehidupan berbangsa kita. Dari banyak pengalaman, baik di Indonesia mau pun di luar Indonesia, tanpa adanya anggota DPR perempuan yang memadai, produk undang-undang yang dihasilkan cenderung bias dan kurang memperhatikan kepentingan perempuan.
Kekhawatiran saya kedua menyangkut kinerja DPR untuk 5 tahun ke depan. Tulisan di Kompas di bawah ini mengulas cukup banyak kemungkinan-kemungkinan itu. Beberapa kata kuncinya adalah 'semakin lokal', 'kurang pengalaman', dan 'dagang sapi'. Sejauh mana kebenarannya akan kita buktikan dalam 5 tahun ke depan.
Kekhawatiran saya yang lain adalah justru semakin kuatnya 'oligarki' di dalam sebuah partai politik sebagai ekses keputusan MK itu. Memang, pemain-pemainnya dalam setiap partai politik bisa jadi 'baru', karena lolos melewati proses 'liberalisasi' tadi. Namun, untuk pemilu berikutnya, mereka ini lah yang akan mengunci rapat 'partai politik'-nya masing-masing. Cara yang paling sederhana adalah dengan membatasi daftar caleg yang diusulkan, terutama di partai-partai besar atau menengah. Partai-partai ini 'sudah bisa menghitung' berapa sih sebenarnya caleg yang bakal terpilih. Kalau di sebuah dapil, sebuah partai paling-paling hanya mendapat 2 kursi, ya cukup dipasang 2 calon saja atau kalau dilebihkan cukup 3 calon.
Padahal saat ini, banyak partai yang sengaja memasang banyak calon karena ingin menarik massa (misalnya lewat vote getter yang diletakkan di nomer urut besar). Dengan membuka peluang banyak caleg ini, setidaknya memberikan kesempatan adanya 'caleg baru' untuk magang, mempersiapkan diri. "Nggak apa-apa saat ini nggak kepilih, yang penting sudah pernah nyaleg dan pengalaman kampanye. Siapa tahu besok-besok akan naik ranking," begitu kira-kira. Namun apakah hal yang sama akan terjadi di pemilu berikut? Kalau setiap calon harus senantiasa ketar-ketir dan juga 'terpaksa'/'dipaksa' keluar uang banyak hanya karena harus bersaing dengan teman sendiri, ya dibatasi saja kalau begitu pesaingnya.
Barangkali kekhawatiran-kekhawatiran ini berlebihan. Akan tetapi, ada baiknya untuk menyiapkan diri pada kemungkinan-kemungkinan terburuk. Setidaknya, dengan demikian langkah-langkah antisipatif sejak sekarang bisa dipersiapkan terutama bila prediksi-prediksi itu mendekati kenyataan.
Salam,
Safira Machrusah
Caleg DPR-RI untuk Demak, Kudus, Jepara
Partai Kebangkitan Bangsa 13 No Urut 3
Profil DPR Mendatang Sulit Diprediksi, Tokoh Lokal Kemungkinan Akan Mendominasi
Senin, 9 Februari 2009 | 03:27 WIB
Jakarta, Kompas - ”Liberalisasi” sistem pemilihan semakin membuat profil DPR mendatang sulit diprediksi. Kapasitas calon bukan satu-satunya jaminan untuk mendapatkan kursi parlemen. Banyaknya calon anggota parlemen yang siap dipilih oleh rakyat bukan pula jaminan kinerja DPR mendatang akan lebih baik.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari di Jakarta, Sabtu (7/2), mengakui, wajah parlemen hasil Pemilu 2009 bakal lebih sulit diprediksi, termasuk kinerjanya. Wajah DPR semakin sulit diprediksi karena putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan mekanisme calon terpilih lewat suara terbanyak ibarat ”kotak pandora”.
Jika merunut hasil penelusuran Litbang Kompas, jika dibandingkan dengan profil pendidikan anggota DPR hasil Pemilu 2004, terlihat profil tingkat pendidikan calon anggota legislatif (caleg) saat ini mengalami peningkatan kualitas.
Delapan dari tiap 10 caleg tercatat berpendidikan sarjana, mulai dari yang strata satu hingga yang menyandang gelar doktor. Jumlah sarjana tercatat hampir 5.000 orang, pascasarjana sebanyak 1.599 orang, dan doktor 281 orang.
Begitu pula usia caleg. Mereka yang berusia relatif muda mendominasi profil caleg pada Pemilu 2009.
Namun, menurut Qodari, bisa jadi calon anggota parlemen dari kalangan populer, seperti artis yang semula dipasang sebagai vote getter untuk parpol, justru yang lebih banyak terpilih. Padahal, merujuk pengalaman 2004, wajah DPR yang semuanya dipilih dan tidak ada anggota yang ditunjuk sempat membersitkan harapan besar.
”Kenyataannya, banyak produk legislasi menjadi persoalan dan tak pernah mencapai target,” kata Qodari.
Secara terpisah, Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto bahkan lugas memprediksi bahwa para tokoh lokal akan dominan di DPR. Sebaliknya, para legislator mumpuni yang ada di DPR sekarang sebagian besar bakal tersingkir.
Didik mengakui, kondisi itu mengancam kinerja DPR mendatang. Imbasnya, kinerja DPR tidak akan jauh berbeda dengan DPD sekarang ini. Kalaupun ada tokoh hebat, DPR bisa tenggelam bersama mereka yang lebih nyaman menikmati status dan fasilitas.
Didik khawatir, DPR periode mendatang justru semakin kental dengan politik transaksional ala ”dagang sapi”. Apalagi jika pemilu tidak menghasilkan blok politik yang jelas antara kubu pemerintah dan oposisi sejak awal.
Jika kondisinya seperti itu, parlemen bisa-bisa akan menjadi ”pasar politik”. Semua keputusan diambil berdasarkan kalkulasi untung-rugi material bagi legislator bersangkutan. Hal tersebut bukan semata-mata karena cupetnya idealisme dan integritas, tetapi juga karena ketidakmampuan memahami masalah dan dinamika politik.
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang sependapat bahwa calon yang ribuan tidak serta-merta menjamin akan diperoleh DPR terbaik pada periode mendatang. Penghambatnya, pemilih sangat sulit mendapatkan informasi memadai tentang latar belakang dan kemampuan calon tidak diketahui.
Keterbatasan informasi tentang calon menyebabkan pertimbangan memilih masyarakat hanya sebatas popularitas, tingkat pengenalan, ataupun karena faktor keluarga. ”Persoalan DPR periode mendatang, calon yang memiliki kemampuan baik namun tidak dikenal tidak akan dipilih,” kata Sebastian.
Perbaikan
Namun, Sebastian menilai, penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak cukup baik untuk kepentingan jangka panjang. Mekanisme itu membongkar dan mengubah paradigma partai politik maupun politisi. Pemilu 2009 bakal memberikan pelajaran penting bagi politisi bahwa untuk menjadi anggota parlemen mesti melalui proses politik yang panjang dan menuntut kerja keras. ”Tidak ada jalan pintas untuk menjadi politisi,” tutur Sebastian.
Sementara itu, Qodari merujuk pada hasil survei Indo Barometer Desember 2008 menyangkut harapan rakyat pada anggota DPR baru yang menunjukkan bahwa keyakinan paling tinggi ada pada kemampuan pengawasan. Adapun keyakinan paling rendah ada pada kemampuan membuat anggaran yang berpihak kepada rakyat.
Qodari berpendapat, perbaikan kinerja DPR yang paling efektif dan realistis adalah melalui perbaikan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Tata Tertib DPR. ”Jadi, perbaikan tidak semata diserahkan pada ’keinsafan’ anggota DPR, tapi oleh sistem,” katanya.(DIK)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/09/03271452/profil.dpr.mendatang.sulit.diprediksi
Mereka yang optimistik, terutama adalah para caleg yang tadinya masuk 'nomor sepatu'. Menyusul keputusan tersebut, sekarang terbuka 'kesempatan baru'. Para pengritik 'oligarki' di partai politik pun juga sangat optimistis, bahwa keputusan MK bakal memutus rantai oligarki itu.
Saya sendiri berdiri di antara keduanya. Dengan adanya keputusan MK, di satu sisi memang ada kemungkinan baik bagi saya, bisa terpilih. Padahal tadinya, sebelum ada keputusan ini, dengan hitungan teori kemungkinan, nomer urut saya yang nomor tiga itu, kecil peluangnya untuk bisa terpilih. Tetapi sekarang, barangkali, kalau Tuhan menghendaki, saya akan bisa mewakili konstituen.
Namun di sisi lain, proses 'liberalisasi sistem pemilihan' (seperti disebutkan Kompas) juga membersitkan beberapa kekhawatiran. Seperti yang lain, saya cukup khawatir bahwa representasi perempuan di DPR untuk 5 tahun ke depan kemungkinan semakin surut. Hal ini berangkat dari pengalaman 'liberalisasi' politik paska Soeharto. Terjadi penurunan tajam dari jumlah perempuan anggota DPR hasil Pemilu 1999 bila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. 'Liberalisasi' yang kedua ini, ada kemungkinan akan membawa dampak yang sama.
Kekhawatiran menurunnya jumlah anggota DPR perempuan, bukan sekedar karena saya perempuan, namun karena dampaknya yang cukup fatal bagi kehidupan berbangsa kita. Dari banyak pengalaman, baik di Indonesia mau pun di luar Indonesia, tanpa adanya anggota DPR perempuan yang memadai, produk undang-undang yang dihasilkan cenderung bias dan kurang memperhatikan kepentingan perempuan.
Kekhawatiran saya kedua menyangkut kinerja DPR untuk 5 tahun ke depan. Tulisan di Kompas di bawah ini mengulas cukup banyak kemungkinan-kemungkinan itu. Beberapa kata kuncinya adalah 'semakin lokal', 'kurang pengalaman', dan 'dagang sapi'. Sejauh mana kebenarannya akan kita buktikan dalam 5 tahun ke depan.
Kekhawatiran saya yang lain adalah justru semakin kuatnya 'oligarki' di dalam sebuah partai politik sebagai ekses keputusan MK itu. Memang, pemain-pemainnya dalam setiap partai politik bisa jadi 'baru', karena lolos melewati proses 'liberalisasi' tadi. Namun, untuk pemilu berikutnya, mereka ini lah yang akan mengunci rapat 'partai politik'-nya masing-masing. Cara yang paling sederhana adalah dengan membatasi daftar caleg yang diusulkan, terutama di partai-partai besar atau menengah. Partai-partai ini 'sudah bisa menghitung' berapa sih sebenarnya caleg yang bakal terpilih. Kalau di sebuah dapil, sebuah partai paling-paling hanya mendapat 2 kursi, ya cukup dipasang 2 calon saja atau kalau dilebihkan cukup 3 calon.
Padahal saat ini, banyak partai yang sengaja memasang banyak calon karena ingin menarik massa (misalnya lewat vote getter yang diletakkan di nomer urut besar). Dengan membuka peluang banyak caleg ini, setidaknya memberikan kesempatan adanya 'caleg baru' untuk magang, mempersiapkan diri. "Nggak apa-apa saat ini nggak kepilih, yang penting sudah pernah nyaleg dan pengalaman kampanye. Siapa tahu besok-besok akan naik ranking," begitu kira-kira. Namun apakah hal yang sama akan terjadi di pemilu berikut? Kalau setiap calon harus senantiasa ketar-ketir dan juga 'terpaksa'/'dipaksa' keluar uang banyak hanya karena harus bersaing dengan teman sendiri, ya dibatasi saja kalau begitu pesaingnya.
Barangkali kekhawatiran-kekhawatiran ini berlebihan. Akan tetapi, ada baiknya untuk menyiapkan diri pada kemungkinan-kemungkinan terburuk. Setidaknya, dengan demikian langkah-langkah antisipatif sejak sekarang bisa dipersiapkan terutama bila prediksi-prediksi itu mendekati kenyataan.
Salam,
Safira Machrusah
Caleg DPR-RI untuk Demak, Kudus, Jepara
Partai Kebangkitan Bangsa 13 No Urut 3
Profil DPR Mendatang Sulit Diprediksi, Tokoh Lokal Kemungkinan Akan Mendominasi
Senin, 9 Februari 2009 | 03:27 WIB
Jakarta, Kompas - ”Liberalisasi” sistem pemilihan semakin membuat profil DPR mendatang sulit diprediksi. Kapasitas calon bukan satu-satunya jaminan untuk mendapatkan kursi parlemen. Banyaknya calon anggota parlemen yang siap dipilih oleh rakyat bukan pula jaminan kinerja DPR mendatang akan lebih baik.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari di Jakarta, Sabtu (7/2), mengakui, wajah parlemen hasil Pemilu 2009 bakal lebih sulit diprediksi, termasuk kinerjanya. Wajah DPR semakin sulit diprediksi karena putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan mekanisme calon terpilih lewat suara terbanyak ibarat ”kotak pandora”.
Jika merunut hasil penelusuran Litbang Kompas, jika dibandingkan dengan profil pendidikan anggota DPR hasil Pemilu 2004, terlihat profil tingkat pendidikan calon anggota legislatif (caleg) saat ini mengalami peningkatan kualitas.
Delapan dari tiap 10 caleg tercatat berpendidikan sarjana, mulai dari yang strata satu hingga yang menyandang gelar doktor. Jumlah sarjana tercatat hampir 5.000 orang, pascasarjana sebanyak 1.599 orang, dan doktor 281 orang.
Begitu pula usia caleg. Mereka yang berusia relatif muda mendominasi profil caleg pada Pemilu 2009.
Namun, menurut Qodari, bisa jadi calon anggota parlemen dari kalangan populer, seperti artis yang semula dipasang sebagai vote getter untuk parpol, justru yang lebih banyak terpilih. Padahal, merujuk pengalaman 2004, wajah DPR yang semuanya dipilih dan tidak ada anggota yang ditunjuk sempat membersitkan harapan besar.
”Kenyataannya, banyak produk legislasi menjadi persoalan dan tak pernah mencapai target,” kata Qodari.
Secara terpisah, Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto bahkan lugas memprediksi bahwa para tokoh lokal akan dominan di DPR. Sebaliknya, para legislator mumpuni yang ada di DPR sekarang sebagian besar bakal tersingkir.
Didik mengakui, kondisi itu mengancam kinerja DPR mendatang. Imbasnya, kinerja DPR tidak akan jauh berbeda dengan DPD sekarang ini. Kalaupun ada tokoh hebat, DPR bisa tenggelam bersama mereka yang lebih nyaman menikmati status dan fasilitas.
Didik khawatir, DPR periode mendatang justru semakin kental dengan politik transaksional ala ”dagang sapi”. Apalagi jika pemilu tidak menghasilkan blok politik yang jelas antara kubu pemerintah dan oposisi sejak awal.
Jika kondisinya seperti itu, parlemen bisa-bisa akan menjadi ”pasar politik”. Semua keputusan diambil berdasarkan kalkulasi untung-rugi material bagi legislator bersangkutan. Hal tersebut bukan semata-mata karena cupetnya idealisme dan integritas, tetapi juga karena ketidakmampuan memahami masalah dan dinamika politik.
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang sependapat bahwa calon yang ribuan tidak serta-merta menjamin akan diperoleh DPR terbaik pada periode mendatang. Penghambatnya, pemilih sangat sulit mendapatkan informasi memadai tentang latar belakang dan kemampuan calon tidak diketahui.
Keterbatasan informasi tentang calon menyebabkan pertimbangan memilih masyarakat hanya sebatas popularitas, tingkat pengenalan, ataupun karena faktor keluarga. ”Persoalan DPR periode mendatang, calon yang memiliki kemampuan baik namun tidak dikenal tidak akan dipilih,” kata Sebastian.
Perbaikan
Namun, Sebastian menilai, penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak cukup baik untuk kepentingan jangka panjang. Mekanisme itu membongkar dan mengubah paradigma partai politik maupun politisi. Pemilu 2009 bakal memberikan pelajaran penting bagi politisi bahwa untuk menjadi anggota parlemen mesti melalui proses politik yang panjang dan menuntut kerja keras. ”Tidak ada jalan pintas untuk menjadi politisi,” tutur Sebastian.
Sementara itu, Qodari merujuk pada hasil survei Indo Barometer Desember 2008 menyangkut harapan rakyat pada anggota DPR baru yang menunjukkan bahwa keyakinan paling tinggi ada pada kemampuan pengawasan. Adapun keyakinan paling rendah ada pada kemampuan membuat anggaran yang berpihak kepada rakyat.
Qodari berpendapat, perbaikan kinerja DPR yang paling efektif dan realistis adalah melalui perbaikan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Tata Tertib DPR. ”Jadi, perbaikan tidak semata diserahkan pada ’keinsafan’ anggota DPR, tapi oleh sistem,” katanya.(DIK)
http://cetak.kompas.com/re
1 komentar:
I can no other say but congratulation. Wishing you al the best.
Posting Komentar