Selamat pagi,
Artikel di bawah adalah penjelasan pakar ekonomi tentang alasan mengapa Amerika Serikat yang terkena krisis tapi justru nilai mata uangnya meningkat di Indonesia. Padahal dulu sewaktu kita terkena badai krisis finansial mulai tahun 1997 uang kita terpuruk dari tadinya sekitar Rp. 2.400/1 USD di bulan Mei 1997 (Inside Indonesia, 1998) sampai pernah mencapai Rp. 12.000 an/1 USD di bulan Januari 1998 (International Herald Tribune, 1998; juga di Juli 2001). Dan akhirnya stabil di kisaran Rp. 9.000-9.500 an/1 USD selama 2 tahun terakhir sampai kemaren. Hari-hari ini 1 USD sekitar Rp. 10.500 (meski mencapai Rp. 11.700/1 USD 28 Oktober lalu).
Hal lain yang cukup menarik, sebenarnya uang USD sebagai investasi tabungan juga kurang menarik saat ini. Hal ini karena suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat yang hanya sekitar 1,5% per tahun, bahkan diturunkan lagi jadi 1% saja beberapa hari yang lalu (The Independent, 30/10/2008). Padahal dulu, saat kita kolaps, Bank Indonesia menaikkan suku bunga sampai sekitar 70% per tahun untuk mengurangi dampak krisis 1997-1998 tersebut (SEASite, 1998).
Saya rasa argumen Bung Basri bahwa para pemodal "dunia" saat krisis ini perlu mengurangi alternatif pilihan dengan hanya memegang dollar US cukup menjelaskan. Memegang USD sebagai mata uang masih dianggap aman. Karena bagaimanapun juga Amerika Serikat, dengan 300 juta penduduk dan GDP per kapita hampir 46.000 USD, masih merupakan satu negara dengan kemampuan ekonomi yang amat besar (CIA, 2007).
Penjelasan serupa saya pikir bisa juga diterapkan atas menurunnya secara tajam mata uang Australian Dollar beberapa waktu terakhir ini. Saat tinggi-tingginya sekitar pertegahan Juli 2008 kemaren 1 AUD mencapai sekitar 0.98 USD. Sekarang, tiga bulan kemudian, turun jadi hanya sekitar 0.67 USD (www.xe.com). Atau turun jauh lebih drastis (sekitar 45%) dibanding mata uang Rupiah (sekitar 20%) bila ditukar USD.
Tapi menurut Bung Basri, para pemodal nantinya akan kembali melakukan diversivikasi investasi. Hal ini tentunya kalau para pemodal sudah mulai agak tenang. USD akan kembali mengalir ke pasar-pasar saham dunia dan nilainya kemungkinan akan menurun, setidaknya tidak sekuat saat ini.
Sambil menunggu saat diversivikasi datang embali, untuk kasus Indonesia Bung Basri memberi beberapa saran: 1) tetap menjaga surplus transaksi berjalan; 2) lebih mendorong investasi asing jangka panjang; dan 3) masyarakat termasuk BI agar jangan panik.
Semoga gejolak krisis mata uang ini segera berlalu (meski mungkin bisa bikin harga bensin turun, tapi yang sudah pasti di Indonesia bunga pinjaman naik).
Salam,
Suami Safira [Rosa] Machrusah
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/03/00204540/menyikapi.gejolak.rupiah
Menyikapi Gejolak Rupiah
Senin, 3 November 2008 | 00:20 WIB
Faisal Basri
Selama lebih dari dua tahun tiga bulan (15/6/2006 hingga 5/10/2008), kurs rupiah tergolong sangat stabil di kisaran Rp 9.000-Rp 9.500. Pada periode tersebut, rupiah tak pernah menyentuh di bawah Rp 9.500 per dollar AS. Justru sebaliknya, tercatat selama 27 hari menguat, menembus Rp 9.000 per dollar AS dengan level tertinggi Rp 8.672 pada 23 Mei 2007.
Pergerakan rupiah selama kurun waktu tersebut agak berbeda dengan kebanyakan mata uang dunia. Tatkala sejumlah mata uang dunia mengalami penguatan terhadap dollar AS, nilai rupiah tak bergerak. Demikian pula ketika terjadi proses pembalikan, nilai rupiah tak ikut terseret turun. Kecenderungan demikian berlangsung hingga awal Oktober 2008.
Nilai tukar rupiah mulai lunglai sejak 6 Oktober—mengikuti kecenderungan global—hingga mencapai titik terendah Rp 11.743 per dollar AS pada 28 Oktober 2008. Minggu lalu kurs tengah Bank Indonesia ditutup pada level Rp 10.995 per dollar AS. Boleh dikatakan, penyebab utama dari depresiasi rupiah dalam sebulan terakhir adalah imbas dari krisis finansial global.
Sepintas, fenomena penguatan dollar AS terhadap hampir semua mata uang dunia bagaikan anomali. Bagaimana mungkin suatu negara yang sedang didera krisis parah dan sangat haus dana untuk menalangi dan menyelamatkan korporasi-korporasi besar justru mata uangnya menguat. Penguatan dollar AS begitu tiba-tiba. Padahal, tiga bulan lalu nilai tukar dollar AS masih menunjukkan kecenderungan melemah.
Bukankah perekonomian AS masih menghadapi defisit struktural: konsumsi melebihi produksi, impor lebih besar dari ekspor, dan belanja pemerintah federal melampaui penerimaan pajak. Semua ini harus ditutup dengan utang, termasuk menyedot dana luar negeri, sehingga seharusnya dollar AS melemah.
Namun, dunia sedang bergejolak. Krisis finansial di AS merambah seperti spiral, tak sebatas hanya menjerat negara-negara yang terjalin erat dengan sektor keuangan AS, tetapi sudah merasuki seantero jagat.
Oleh karena itu, sebetulnya penguatan dollar AS bukan disebabkan karena orang menginginkan mata uang negara adidaya ini, melainkan karena mereka menginginkan alternatifnya lebih sedikit (David Hale, Time. 25/10/2008, halaman 21). Karena itulah harga emas dan komoditas lain pun ikut merosot.
Diversifikasi dana
Sekalipun kita belum tahu berapa lama lagi krisis yang membuat likuiditas dunia mengering, kita yakin bahwa uang memiliki logika dasar yang tak berubah, yakni tak akan menyemut di satu tempat. Investor akan selalu mendiversifikasikan dananya untuk mengurangi risiko. Lambat laun, dana akan kembali mengalir ke berbagai penjuru dunia. Kala itu, persaingan untuk menarik dana akan kembali marak.
Kita tak boleh berpangku tangan, sekadar menunggu sampai masa itu datang. Masih banyak yang bisa kita perbuat untuk meminimalkan dampak negatif krisis finansial global.
Tantangan terbesar adalah memperkokoh keseimbangan eksternal. Kita patut bersyukur bahwa sejak krisis tahun 1998 transaksi berjalan tahunan selalu surplus, walau secara triwulanan sempat tiga kali defisit.
Surplus transaksi berjalan merupakan modal sangat berharga dalam menghadapi kekeringan likuiditas dunia karena ketergantungan pada arus modal masuk berkurang. Selama 1998 hingga 2003, defisit arus modal bisa sepenuhnya ditutup oleh surplus transaksi berjalan sehingga cadangan devisa praktis terus-menerus mengalami peningkatan. Dengan demikian, nilai tukar rupiah tetap terjaga.
Kita harus waspada menghadapi kecenderungan surplus transaksi berjalan yang melorot belakangan ini. Selama 2006 dan 2007 surplus transaksi berjalan masih di atas 10 miliar dollar AS, tetapi pada semester pertama 2008 tercatat baru 851 juta dollar AS. Itu pun dengan catatan: pada triwulan kedua sudah mengalami defisit.
Sejauh ini kita masih bisa berharap, kalaupun terjadi defisit, jumlahnya relatif kecil. Ekspor mungkin akan melemah, tetapi impor pun akan turun, terutama impor produk minyak.
Sepanjang penerimaan devisa dari TKI di luar negeri dan sektor pariwisata bisa diamankan, defisit transaksi berjalan yang besar dapat dihindarkan.
Tantangan kedua, terutama untuk jangka menengah, adalah memperbaiki struktur arus modal masuk. Depresiasi rupiah dalam sebulan terakhir, antara lain, juga karena faktor ketergantungan yang meningkat terhadap investasi asing jangka pendek dalam bentuk portofolio. Selama semester I-2008, arus modal masuk bersih untuk portofolio mencapai lebih dari tiga kali lipat penanaman modal asing langsung berjangka panjang. Adalah arus modal masuk dalam bentuk portofolio yang deras inilah yang kemudian keluar kembali dalam seketika sehingga rupiah lunglai.
Tantangan ketiga adalah meredam faktor psikologis. Masyarakat belum sepenuhnya terbebas dari trauma krisis 1998. Sebagian dari mereka khawatir pergerakan rupiah bakal tak terkendali, padahal kondisi masa itu tak lagi terulang sekarang. Utang luar negeri jangka pendek dewasa ini hanya 34 persen dari cadangan devisa, jauh lebih rendah daripada tahun 1998 yang mencapai hampir 200 persen.
Yang juga bisa meredam dampak psikologis adalah langkah- langkah pemerintah dan BI untuk memperlancar lalu lintas pembayaran luar negeri. Jangan sampai para pengusaha memburu dollar AS karena perbankan teramat memperketat persyaratan pembayaran. Misalnya, dewasa ini beberapa bank menetapkan ketentuan pembayaran 100 persen di muka untuk pembukaan letter of credit (L/C) bagi importir. Padahal, selama ini cukup sekitar 20 persen saja.
Akhirnya, kita tak perlu terpaku pada ”angka keramat” Rp 10.000 per dollar AS. Sesekali rupiah boleh menembus Rp 10.000. Asalkan volatilitas pergerakan rupiah terjaga dan fundamental penopang rupiah tetap sehat, rasanya kita tak perlu waswas rupiah bakal terjungkal.
Faisal Basri Pengamat Ekonomi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar