08 Oktober 2008

Perubahan Evolutif: Mari Kita Buang Korupsi

Saya kira dengan pisau analisis yang rasional, apalagi didukung latar belakang sebagai "peneliti", investigasi yang mendalam tentang persoalan disparitas gaji antar lembaga, kinerja serta output yang bisa diberikan kepada masyarakat Indonesia bisa dijadikan bahasan yang sangat menarik untuk dikaji. Dengan hasilnya yang akurat, insya Allah, akan bisa jadi bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dan pelaksana kebijakan tersebut. Bukan malah sebaliknya, temuan yang didapat malah justru menjerumuskan kita pada kecemburuan, sakit hati dan rasa ketidak puasan yang berkepanjangan. Sebagai anak muda yang masih jauh dari "kontaminasi" dua TA, harTA dan tahTA (kekuasaan), keberanian kita menyampaikan sikap disertai dengan karya nyata kita bersama dengan pemuda-pemuda yang lain (karena memang harus dilakukan secara komunal, bukan secara parsial) sangatlah diharapkan. Supaya perubahan itu terjadi benar "on the right track".


Ada kebiasaan teman-teman aktivis dulu ...cut one generation...baru perubahan totalitas bisa dilaksanakan, yang jadi masalah adalah, memotong satu generasi bukan pekerjaan mudah, selain human resources mudanya masih terbatas, dengan limited experience, and limited budget, generasi lamanya (tidak semua generasi lama tidak baik) sudah menancapkan akarnya sedemikian kuat, seperti penyakit kanker stadium akut, kemana-mana kita melakukan perubahan, so pasti sudah ada penjaga gawangnya, misalnya mereka menggunakan kampanye jargon senior dan yunior (feodalism), immoral, tidak sesuai dengan "filosofi" bangsa, atau pelabelan...komunis gaya baru (padahal sesungguhnya sebagian anak mudanya hanya tertarik dengan ide sosialisme), anti kapitalisme, pendek kata semua atribut "buruk-buruk" ditujukan kepada para calon "pembaharu". Misalnya yang sekarang lagi ngetrend dengan mempopulerkan wacana...enak jaman pak Harto ya? pak harto itu ternyata pintar...dsb ...dsb, itu semua merupakan upaya tersistimatis untuk "melestarikan" rezim" Orde baru, dan menafikan reformasi, reformasi lalu kemudian dibilang salah jalan, hanya karena para reformis masih belum bisa membuat format yang terintegrasi membangun Indonesia yang berdaulat. Padahal, memperbaiki itu semua dibutuhkan waktu (dan sayangnya, sebagian rakyat rupanya tidak sabar menunggu itu semua)


Coba dilihat secermat-cermatnya anggota DPR yang mulia itu, berapa persenkah yang masih terdiri dari wajah-wajah lama? Lalu kemudian, di lihat lagi produk undang-undangnya, bandingkan kemudian beberapa undang-undang yang dibuat, berapa persenkah yang menghasilkan undang-undang yang membela rakyat dibanding dengan undang-undang produk jaman Orde Baru?


Setelah itu baru kamu perhatikan betul, apakah ke setjen an di DPR (petinggi pegawai negeri di lingkungan DPR)sendiri sudah mengalami "reformasi"? atau hanya eforia sesaat berubah, lalu kembali seperti perilaku semua (karena terkena penyakit amnesia, lupa ).....karena semua itu sangat berkaitan. Sebab lingkungan setjen lah yang mengatur hampir semua kegiatan administratif anggota DPR, dan tak jarang mereka "jauh" lebih kaya ketimbang anggota DPR (misalnya, keberanian melakukan tender internal, mematok harga...dsb)........


Dulu jaman nya salah satu presiden pasca reformasi, ada satu usulan SK yang mestinya bisa sampai ke meja Wapres esok harinya...tetapi apa yang terjadi?....usulan SK itu baru sampai ke meja Wapres dalam seminggu, padahal, jarak kantor presiden dengan wapres hanya terpisah sedikit oleh Monas, akibatnya, presiden pun harus menanggung "biaya" politiknya...sendirian? apa artinya ini semua? sabotase? ketakutan sementara kelompok atau perorangan akan kekuasaannya yang selama ini diperoleh menjadi terbatas di lingkungan istana?complicatednya sekneg? atau ini hanyalah kegelisahan saya saja, bahwa reformasi itu memang belum usai, semestinya ia harus menyeluruh, termasuk di lingkungan pegawai negeri utamanya eselon 1,2 ... bukan hanya DPR saja, karena mereka pun ditengarai merupakan "penikmat" dana-dana yang tak jelas.


Cek kemudian sistim hukum kita, yang sampai sekarang masih sebagiannya mengacu pada hukum kolonial, Belanda...., para eksekutornya semisal jaksa, pengadilan, MA....apakah benar-benar mereka sudah tereformasi apa belum? Kemarin kisah tentang dana Tommy di Paribas? siapa yang "runyam" mengartikulasikan reformasi dan mengambil kesempatan dalam kesempitan?


Bukan hal yang salah kalau ada expertise yang secara ekstrim mengatakan kalau Indonesia adalah negara yang "bubrah", atau sesungguhnya Indonesia ini belum merdeka, karena belum memiliki format yang jelas arah dan tujuannya kecuali Pancasila nya saja sebagai way of life dan perekat kemajemukan. That's all.


Saya kira masih banyak PR yang harus di highlight untuk memetakan Indonesia masa depan, oleh kita semua, bukan oleh seorang saja, dan yang lebih penting bagi saya, karena memikirkan Indonesia secara keseluruhan masih "berat", lebih baik saya inward looking, mengkritisi dari dalam diri saya, apa sih yang bisa saya perbuat untuk negeri ini, mulai jujur pada diri sendiri misalnya, tidak melakukan "korupsi", biar itu kecil-kecilan misalnya, meminimalisir rasa saling curiga terhadap orang lain dan keberhasilannya, positive thinking, menegakkan kebenaran, terbuka terhadap perbedaan, atau upaya meminimalisr diskriminasi semisal berdasar tingkat pendidikan ( misalnya ucapan-ucapan yang mendown grade seseorang...kamu lulusan apa dan darimana... dan pasti dijawab oleh yang tak berpendidikan dengan ulah diskriminatif pula, wong doktor lulusan luar negeri kok "bodo"....masih mending kita, bodo, emang gak sekolah kok :( )


Semoga integritas kita terhadap masa depan negara kita masih terjaga, dan atribut kesarjanaan yang kita sandang, tidak menjadikan kita sebagai menara gading....menjauhkan kita dari rakyat "kebanyakan".



Tidak ada komentar: