09 Februari 2009

Seklumit Biografi Saya

Dra. Hj. SAFIRA MACHRUSAH, MA(Asian Studies) Hon.

Saya dilahirkan di Yogyakarta. Orangtua saya almarhum Prof. Dr. K.H. Mohammad Tolchah, S.H. bin K.H. Mansoer, atau lebih dikenal dengan Kyai Tolchah Mansoer. Dan ibu, Dra. Hj. Umroh Machfudzoh binti K.H.M. Wahib Wahab. Kedua orangtua saya penggiat organisasi di lingkungan Nahdlatul Ulama dan terjun dalam kancah politik nasional.

Lahir dan dibesarkan dalam kondisi seperti itu maka naluri untuk berkiprah di organisasi Nahdlatul Ulama serta kemudian berpartisipasi dalam politik sudah terbentuk dalam diri saya sejak kecil. Masih di bangku sekolah saya aktif di IPPNU DIY. Semasa kuliah saya masuk Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Saya sempat menjabat wakil sekretaris KOPRI PMII komisariat IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta pada tahun 1990-1991.

Saya juga tetap aktif di IPPNU Yogyakarta. Antara tahun 1988-1990 saya terpilih menjadi Ketua PW IPPNU DIY. Sejak menjadi Ketua PW IPPNU itulah saya mulai pula menjadi pengurus Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Yogyakarta (1990-1993) yang saat itu dipimpin oleh GBPH Joyokusumo. Selanjutnya saya mulai ikut berkiprah di Pengurus Pusat IPPNU di Jakarta. Kebetulan saat itu ibu terpilih menjadi anggota legislatif di Jakarta. Setelah pada kepengurusan sebelumnya saya menjabat Ketua I, maka pada tahun 1996 dalam Kongres XI IPPNU di Garut, Jawa Barat, saya terpilih menjadi Ketua Umum PP IPPNU. Jabatan ini saya emban sampai tahun 2000.

Dalam kepengurusan KNPI, dari Yogyakarta pun akhirnya masuk di kepengurusan pusat. Saya menjadi anggota Dewan Pengurus DPP KNPI antara tahun 1993-1996 mewakili IPPNU. Pada kepengurusan periode 1996-1999, saya duduk sebagai sekretaris Majelis Pemuda Indonesia, sebuah organ penasehat tertinggi dalam struktur KNPI.

Pada zaman Orde Baru di bawah Suharto, memang KNPI banyak disebut-sebut sebagai organisasi yang sudah terkooptasi oleh kekuasaan. Namun, perjuangan saya untuk membela sistem yang lebih adil, demokratis, dan memperjuangkan hak-hak perempuan tidak pernah luntur. Bersama tujuh organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) terkemuka saat itu, saya mewakili IPPNU memelopori terbentuknya Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia (FKPI) pada Februari 1997. Forum ini memprihatinkan kecenderungan memudarnya semangat kebangsaan yang ditandai berbagai kerusuhan bernuansa SARA di Indonesia saat itu, misalnya kerusuhan etnis di Sanggauledo Kalimantan Barat akhir 1996 awal 1997 dan juga Situbondo tahun 1997. Beberapa statemen yang dikeluarkan bersama-sama melalui forum tersebut bahkan banyak disebut-sebut sebagai menggembosi peran KNPI. Puncaknya, adalah saat FKPI mengkritik tajam secara kontinyu terhadap kepemimpinan nasional dan penyelewengan kenegaraan pada senja kala kekuasaan Orde Baru. Salah satu statemen FKPI yang sangat mendasar saat itu adalah agar Pak Harto mau legowo tidak tampil kembali sebagai pimpinan nasional pada pemilihan presiden 1998. Meski ajakan tersebut tidak mempan, namun ia merupakan salah satu embrio terjadinya reformasi dan mundurnya Pak Harto di tahun 1998.

Meski ikut sibuk bersama kolega lain di KNPI dan FKPI namun saya juga tidak melupakan organisasi yang telah menghantarkan saya sebagai Ketua Umum. Saya sendiri adalah alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, sehingga perhatian saya terhadap pengkaderan pelajar dan pemuda cukup besar. Agenda IPPNU cukup banyak yang melibatkan kegiatan-kegiatan khas pelajar seperti porseni, lomba karya tulis, dan lomba mengarang. IPPNU juga menyelenggarakan seminar-seminar di antaranya tentang pentingnya mengetahui bahaya AIDS untuk kalangan pelajar.

Saat menjadi Ketua Umum itulah hampir seluruh wilayah IPPNU dapat saya kunjungi. Hal itu untuk memastikan bahwa pembinaan yang digariskan Pimpinan Pusat dapat dipahami dan dijalankan dengan baik oleh kader-kader di daerah. Kiprah dalam kegiatan internasional juga tidak kalah penting. IPPNU beberapa kali mengirimkan wakilnya dalam muhibah dan konperensi internasional di Jepang, Taiwan, dan Nepal.

Tahun 1999, menjelang pemilu bebas pertama setelah Orde Baru, IPPNU ikut secara aktif ikut memberikan penyuluhan, terutama di desa-desa, tentang pentingnya pemilu. Program "voter education" yang dikerjakan bersama-sama dengan Muslimat NU dan Fatayat NU itu didukung oleh UNDP.

Tahun 1997 saya menikah dengan H.M. Taufiq Prabowo, Lc., DEA. Dia merupakan putra dari kakak kandung Nyai Sa'adah Muslih, isteri dari almarhum K.H. Muslih Abdurrahman seorang kyai terkenal dari Mranggen Demak Jawa Tengah. Setelah pulang dari studinya di Paris Perancis, suami saya mengabdi di Pondok Pesantren Futuhiyyah Mranggen tempatnya dia dulu mondok. Saat masih membantu mengurusi pesantren itulah saya menikah dengannya. Sehingga setelah menikah pada tahun 1997, saya langsung diboyong ke Mranggen. Namun komitmen saya untuk tetap berkiprah di organisasi tidak meyurutkan saya. Alhamdulillah, suami saya sangat mendukung. Sejak tahun 1997, saya terpaksa harus bolak-balik Jakarta-Demak untuk mengurus organisasi dan memperjuangkan demokratisasi. Bahkan sejak tahun 1998, saya harus bolak-balik lebih jauh lagi, Jakarta-Malang karena suami saya berpindah tugas, diterima menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (dulu IKIP Malang).

Beban perjuangan itu bertambah karena ketika terjadi reformasi dan rencana diselenggarakannya Pemilu 1999, saya ikut bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai ini berdiri pada pertengahan 1998 dan saya ikut dalam kepengurusan DPP PKB periode 1998-2000 di departemen urusan Luar Negeri. Sejak Pemilu tahun 1999 itu, dengan izin dan restu suami, saya mulai ikut kampanye dan mencalonkan diri untuk anggota legislatif DPR-RI. Saya tercatat sebagai calon anggota DPR RI dari Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah dan menjadi juru kampanye di daerah ini pada Pemilu 1999. Namun PKB hanya memperoleh satu kursi sedang saya nomer dua, sehingga calon nomer satu yakni K.H. Abdul Wahid Karim yang terpilih.

Selepas Pemilu 1999, saya tetap meneruskan kepemimpinan saya di IPPNU. Sedianya kepengurusan diemban hingga tahun 2001, namun berdasarkan konbes 1998 diperpendek hanya sampai tahun 2000. Tahun 2000, dalam Kongres IPPNU di Makassar saya lepaskan jabatan Ketua Umum karena saya ingin lebih banyak memiliki waktu bersama suami.

Selama saya berkecimpung di organisasi itu, saya juga sempat memperoleh kesempatan untuk mengikuti training di luar negeri. Saya pernah ikut "Training on Women Generating Income" di Kathmandu, Nepal, tahun 1996. Tahun 2000, saya memperoleh kesempatan lain untuk ikut "Indonesia Australia Short Training Program (IASTP)" dalam hal "Youth Reproductive Health" di Sydney dan Melbourne, Australia. Pengalaman mengikuti training di luar negeri ini akhirnya mendorong saya untuk menambah ilmu dan wawasan di luar negeri.

Alhamdulillah, tahun 2001 saya memperoleh beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) untuk studi S2 di Australia. Suami saya kebetulan di tahun yang sama juga mendapatkan kesempatan untuk studi s3 di Australia. Sehingga pada tahun 2002, saya bisa bergabung dengan suami, yang berangkat enam bulan lebih dahulu, ke Canberra, Australia. Di Australia, saya merasa bahwa wawasan ilmiah, gender, politik, kebangsaan dan internasional saya semakin luas. Mungkin karena saya tinggal di luar negeri dan melanjutkan studi, sehingga saya bisa melihat negeriku tercinta, Indonesia, dengan lebih jernih.

Minat saya dalam hal memperjuangkan hak-hak perempuan membuat saya menulis tentang relasi gender, terutama di kalangan nahdliyin -yang merupakan basis awal saya. Dalam tesis saya, saya melihat bahwa relasi itu masih timpang, berat ke arah laki-laki. Hal itu disebabkan di antaranya oleh masalah pemahaman terhadap teks-teks agama dan lebih lagi oleh sejarah politik nasional. Oleh karena itu, upaya-upaya pemberdayaan kaum perempuan perlu di antaranya selalu melibatkan kaum agamawan dengan mengupayakan penafsiran kontekstual terhadap teks-teks religius. Lebih penting lagi adalah melalui perjuangan politis. Tanpa adanya perempuan-perempuan yang selalu menyuarakan kepentingan mereka di wilayah politik maka kesempatan untuk memperoleh keadilan bagi perempuan akan surut.

Masih dalam periode studi dan mempersiapkan tesis, di awal tahun 2004, kembali saya ikut bergabung untuk memperjuangkan hak politik perempuan dengan mencalonkan kembali. Mulai Pemilu tahun 2004 memang ada aturan kuota 30 persen untuk perempuan, namun kuota itu masih bersifat anjuran saja. Partai Kebangkitan Bangsa termasuk yang bisa memenuhi kuota pada tingkat nasional. Tercatat jumlah calon legislatif perempuan dari PKB mencapai 37,6 persen kedua terbaik secara nasional. Dalam Pemilu 2004 itu saya dicalonkan oleh PKB untuk daerah pemilihan Jawa Tengah 1 dengan nomor urut 3. Namun sayang, PKB hanya memperoleh satu kursi saja dari daerah pemilihan tersebut.

Setelah pemilu saya kembali studi di Australia. Akan tetapi pada bulan Juni tahun 2004 turun Surat Keputusan bahwa anggota legislatif dari tempat saya mencalonkan diri pada Pemilu tahun 1999 telah diberhentikan. Memang sejak bulan April, PKB sudah meminta agar anggota tersebut diberhentikan karena membelot dan pindah ke partai lain. Sebagai gantinya saya diangkat sebagai anggota legislatif Pengganti Antar Waktu (PAW) Anggota DPR-RI karena saya dalam Pemilu tahun 1999 berada diurutan kedua dari daerah itu (Grobogan).

Pulanglah saya ke Indonesia untuk melaksanakan tugas legislatif tersebut meski masih tetap berstatus sebagai mahasiswa. Beruntung pihak Universitas dan pemberi beasiswa mengijinkan. Memang tugas legislatif itu akan saya emban hanya beberapa bulan saja, karena pada bulan Oktober anggota legislatif yang baru hasil pemilu tahun 2004 akan dilantik.

Meski hanya beberapa bulan saja menjadi anggota legislatif, namun saya bersyukur bahwa saya telah ikut memberikan kontribusi yang cukup penting dalam pembuatan beberapa undang-undang. Tercatat saya ikut aktif dalam pembahasan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat dalam UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) (lihat catatan saya tentang dukungan masyarakat dan artis/LSM), UU tentang Buruh Migran dan UU tentang Kesehatan (lihat posting saya yang lain).

Sekarang saya ikut berkiprah di Muslimat Nahdlatul Ulama. Saya menjadi salah satu pengurus pusatnya di departemen Penelitian dan Pengembangan (Litbang) untuk periode 2006-2011. Saya turut mengembangkan di antaranya upaya-upaya pentingnya pemahaman multikulturalisme bagi para muslimat terutama di Indonesia yang memang multi etnik.

Sebagai kader Partai Kebangkitan Bangsa yang berjuang sejak awal, saya tetap loyal untuk memperjuangkan ide-idenya dan juga memperjuangkan hak-hak politik perempuan. Meski untuk itu harus diterpa badai dan goncangan. Saya berkeputusan untuk ikut mencalonkan kembali pada Pemilu tahun 2009. Saya kembali menjadi calon legislatif untuk DPR RI dari Jawa Tengah dan kali ini untuk daerah pemilihan 2. Saya mengharap dukungan anda semua.

Saya yakin bahwa menjadi anggota legislatif adalah amanat, untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.

Inilah Anggota Legislatif anda 5 tahun ke depan

Dengan ditetapkannya keputusan tentang anggota legislatif berdasarkan jumlah suara terbanyak oleh MK, dua suara di tengah masyarakat, baik mereka yang optimistis, maupun yang pesimistis, sering saya dengar. Para pejuang langkah afirmatif bagi caleg perempuan banyak yang mengeluh karena khawatir akan efeknya, yaitu representasi perempuan yang kemungkinan besar menurun. Diantaranya, disebabkan perempuan kalah 'start'. Sementara itu, di antara para caleg saya mendengar keluh kesah mereka karena harus (dipaksa/terpaksa) bersaing dengan 'teman' sendiri. Bahkan ada beberapa pemberitaan 'character assassination' antar caleg separtai.

Mereka yang optimistik, terutama adalah para caleg yang tadinya masuk 'nomor sepatu'. Menyusul keputusan tersebut, sekarang terbuka 'kesempatan baru'. Para pengritik 'oligarki' di partai politik pun juga sangat optimistis, bahwa keputusan MK bakal memutus rantai oligarki itu.

Saya sendiri berdiri di antara keduanya. Dengan adanya keputusan MK, di satu sisi memang ada kemungkinan baik bagi saya, bisa terpilih. Padahal tadinya, sebelum ada keputusan ini, dengan hitungan teori kemungkinan, nomer urut saya yang nomor tiga itu, kecil peluangnya untuk bisa terpilih. Tetapi sekarang, barangkali, kalau Tuhan menghendaki, saya akan bisa mewakili konstituen.

Namun di sisi lain, proses 'liberalisasi sistem pemilihan' (seperti disebutkan Kompas) juga membersitkan beberapa kekhawatiran. Seperti yang lain, saya cukup khawatir bahwa representasi perempuan di DPR untuk 5 tahun ke depan kemungkinan semakin surut. Hal ini berangkat dari pengalaman 'liberalisasi' politik paska Soeharto. Terjadi penurunan tajam dari jumlah perempuan anggota DPR hasil Pemilu 1999 bila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. 'Liberalisasi' yang kedua ini, ada kemungkinan akan membawa dampak yang sama.

Kekhawatiran menurunnya jumlah anggota DPR perempuan, bukan sekedar karena saya perempuan, namun karena dampaknya yang cukup fatal bagi kehidupan berbangsa kita. Dari banyak pengalaman, baik di Indonesia mau pun di luar Indonesia, tanpa adanya anggota DPR perempuan yang memadai, produk undang-undang yang dihasilkan cenderung bias dan kurang memperhatikan kepentingan perempuan.

Kekhawatiran saya kedua menyangkut kinerja DPR untuk 5 tahun ke depan. Tulisan di Kompas di bawah ini mengulas cukup banyak kemungkinan-kemungkinan itu. Beberapa kata kuncinya adalah 'semakin lokal', 'kurang pengalaman', dan 'dagang sapi'. Sejauh mana kebenarannya akan kita buktikan dalam 5 tahun ke depan.

Kekhawatiran saya yang lain adalah justru semakin kuatnya 'oligarki' di dalam sebuah partai politik sebagai ekses keputusan MK itu. Memang, pemain-pemainnya dalam setiap partai politik bisa jadi 'baru', karena lolos melewati proses 'liberalisasi' tadi. Namun, untuk pemilu berikutnya, mereka ini lah yang akan mengunci rapat 'partai politik'-nya masing-masing. Cara yang paling sederhana adalah dengan membatasi daftar caleg yang diusulkan, terutama di partai-partai besar atau menengah. Partai-partai ini 'sudah bisa menghitung' berapa sih sebenarnya caleg yang bakal terpilih. Kalau di sebuah dapil, sebuah partai paling-paling hanya mendapat 2 kursi, ya cukup dipasang 2 calon saja atau kalau dilebihkan cukup 3 calon.

Padahal saat ini, banyak partai yang sengaja memasang banyak calon karena ingin menarik massa (misalnya lewat vote getter yang diletakkan di nomer urut besar). Dengan membuka peluang banyak caleg ini, setidaknya memberikan kesempatan adanya 'caleg baru' untuk magang, mempersiapkan diri. "Nggak apa-apa saat ini nggak kepilih, yang penting sudah pernah nyaleg dan pengalaman kampanye. Siapa tahu besok-besok akan naik ranking," begitu kira-kira. Namun apakah hal yang sama akan terjadi di pemilu berikut? Kalau setiap calon harus senantiasa ketar-ketir dan juga 'terpaksa'/'dipaksa' keluar uang banyak hanya karena harus bersaing dengan teman sendiri, ya dibatasi saja kalau begitu pesaingnya.

Barangkali kekhawatiran-kekhawatiran ini berlebihan. Akan tetapi, ada baiknya untuk menyiapkan diri pada kemungkinan-kemungkinan terburuk. Setidaknya, dengan demikian langkah-langkah antisipatif sejak sekarang bisa dipersiapkan terutama bila prediksi-prediksi itu mendekati kenyataan.


Salam,


Safira Machrusah
Caleg DPR-RI untuk Demak, Kudus, Jepara
Partai Kebangkitan Bangsa 13 No Urut 3



Profil DPR Mendatang Sulit Diprediksi, Tokoh Lokal Kemungkinan Akan Mendominasi

Senin, 9 Februari 2009 | 03:27 WIB

Jakarta, Kompas - ”Liberalisasi” sistem pemilihan semakin membuat profil DPR mendatang sulit diprediksi. Kapasitas calon bukan satu-satunya jaminan untuk mendapatkan kursi parlemen. Banyaknya calon anggota parlemen yang siap dipilih oleh rakyat bukan pula jaminan kinerja DPR mendatang akan lebih baik.

Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari di Jakarta, Sabtu (7/2), mengakui, wajah parlemen hasil Pemilu 2009 bakal lebih sulit diprediksi, termasuk kinerjanya. Wajah DPR semakin sulit diprediksi karena putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan mekanisme calon terpilih lewat suara terbanyak ibarat ”kotak pandora”.

Jika merunut hasil penelusuran Litbang Kompas, jika dibandingkan dengan profil pendidikan anggota DPR hasil Pemilu 2004, terlihat profil tingkat pendidikan calon anggota legislatif (caleg) saat ini mengalami peningkatan kualitas.

Delapan dari tiap 10 caleg tercatat berpendidikan sarjana, mulai dari yang strata satu hingga yang menyandang gelar doktor. Jumlah sarjana tercatat hampir 5.000 orang, pascasarjana sebanyak 1.599 orang, dan doktor 281 orang.

Begitu pula usia caleg. Mereka yang berusia relatif muda mendominasi profil caleg pada Pemilu 2009.

Namun, menurut Qodari, bisa jadi calon anggota parlemen dari kalangan populer, seperti artis yang semula dipasang sebagai vote getter untuk parpol, justru yang lebih banyak terpilih. Padahal, merujuk pengalaman 2004, wajah DPR yang semuanya dipilih dan tidak ada anggota yang ditunjuk sempat membersitkan harapan besar.

”Kenyataannya, banyak produk legislasi menjadi persoalan dan tak pernah mencapai target,” kata Qodari.

Secara terpisah, Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto bahkan lugas memprediksi bahwa para tokoh lokal akan dominan di DPR. Sebaliknya, para legislator mumpuni yang ada di DPR sekarang sebagian besar bakal tersingkir.

Didik mengakui, kondisi itu mengancam kinerja DPR mendatang. Imbasnya, kinerja DPR tidak akan jauh berbeda dengan DPD sekarang ini. Kalaupun ada tokoh hebat, DPR bisa tenggelam bersama mereka yang lebih nyaman menikmati status dan fasilitas.

Didik khawatir, DPR periode mendatang justru semakin kental dengan politik transaksional ala ”dagang sapi”. Apalagi jika pemilu tidak menghasilkan blok politik yang jelas antara kubu pemerintah dan oposisi sejak awal.

Jika kondisinya seperti itu, parlemen bisa-bisa akan menjadi ”pasar politik”. Semua keputusan diambil berdasarkan kalkulasi untung-rugi material bagi legislator bersangkutan. Hal tersebut bukan semata-mata karena cupetnya idealisme dan integritas, tetapi juga karena ketidakmampuan memahami masalah dan dinamika politik.

Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang sependapat bahwa calon yang ribuan tidak serta-merta menjamin akan diperoleh DPR terbaik pada periode mendatang. Penghambatnya, pemilih sangat sulit mendapatkan informasi memadai tentang latar belakang dan kemampuan calon tidak diketahui.

Keterbatasan informasi tentang calon menyebabkan pertimbangan memilih masyarakat hanya sebatas popularitas, tingkat pengenalan, ataupun karena faktor keluarga. ”Persoalan DPR periode mendatang, calon yang memiliki kemampuan baik namun tidak dikenal tidak akan dipilih,” kata Sebastian.

Perbaikan

Namun, Sebastian menilai, penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak cukup baik untuk kepentingan jangka panjang. Mekanisme itu membongkar dan mengubah paradigma partai politik maupun politisi. Pemilu 2009 bakal memberikan pelajaran penting bagi politisi bahwa untuk menjadi anggota parlemen mesti melalui proses politik yang panjang dan menuntut kerja keras. ”Tidak ada jalan pintas untuk menjadi politisi,” tutur Sebastian.

Sementara itu, Qodari merujuk pada hasil survei Indo Barometer Desember 2008 menyangkut harapan rakyat pada anggota DPR baru yang menunjukkan bahwa keyakinan paling tinggi ada pada kemampuan pengawasan. Adapun keyakinan paling rendah ada pada kemampuan membuat anggaran yang berpihak kepada rakyat.

Qodari berpendapat, perbaikan kinerja DPR yang paling efektif dan realistis adalah melalui perbaikan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Tata Tertib DPR. ”Jadi, perbaikan tidak semata diserahkan pada ’keinsafan’ anggota DPR, tapi oleh sistem,” katanya.(DIK)


http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/09/03271452/profil.dpr.mendatang.sulit.diprediksi

03 Februari 2009

Misi Sebagai Calon Anggota Legislatif

From Safira Machrusah


Berikut ini komentar saya atas berbagai tanggapan tentang pencalonan saya sebagai anggota legislatif di beberapa milis yang saya ikuti.

Terimakasih atas tanggapannya. Terus terang, hal pertama bisa berikan kepada teman2 yang akan mendukung saya adalah kejujuran serta keterbukaan. Terhadap fasilitas yang akan saya dapat kalau saya nanti menjadi anggota DPR, terhadap semua aktivitas yang saya jalani selama menjadi anggota DPR, karena dengan keterbukaan dan kejujuran tersebut, teman2 akan menilai, apakah saya masih layak menjadi wakil teman2. Mengenai janji akan memperjuangkan kepentingan masyarakat ketimbang partai...itu harus menjadi kewajiban, karena menjadi wakil rakyat, berarti memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan partai. Adapun fungsi partai...harus pada akhirnya menjadi fasilitator terhadap semua kepentingan rakyat banyak.

Mengenai perekonomian? Saya bukan ahli perekonomian, akan tetapi begitu saya di angkat menjadi anggota DPR, saya akan membuat kantor tersendiri dengan merekrut beberapa orang daerah untuk senantiasa bisa secara lagsung memantau semua persoalan daerah, sehingga informasi yang saya dapatkan adalah informasi akurat, langsung dari masyarakat yang bersangkutan. Saya kira ini sangat penting, supaya tidak ada pemutar balikan fakta hanya karena (biasanya) faktor ABS (Asal Bapak Senang). Hal positif lain, dengan mengetahui secara langsung, insya Allah, saya bisa secara akurat meneruskan info tersebut kepada teman2 legislator lain yang membidangi masalah yang berkaitan dengan problema daerah yang bersangkutan. Kalau anggota DPR senang dengan turba (turun ke bawah/ konstituen), saya kira pertanyaan2 dari masyarakat atau dari anda mengenai "kurangnya anggota memperjuangkan kepentingan rakyat" tidak lagi muncul.

Saya tidak lagi menjadi anggota DPR RI, semenjak 2004, karena begitu selesai tugas PAW (Pengganti Antar Waktu), saya menyelesaikan studi baik S2 maupun S3 (PhD) di ANU (the Australian National University), Canberra, Australia. Syukurnya, selama waktu yang singkat menjadi anggota DPR RI (sekitar 4 bulan), saya sangat merasakan ilmu saya bermanfaat sekali dalam membantu menyelesaikan beberapa rancangan UU pada waktu itu. Bahkan dalam waktu yang cuma 4 bulan itu, saya terlibat aktif sampai menjadi anggota tim perumus terkecil dalam pembuatan beberapa RUU terebut (silahkan di baca di blog saya, mengenai aktivitas politik saya di DPR).

Kenapa saya mengkhususkan diri meneruskan jenjang pendidikan saya? Bagi saya pendidikan adalah prasyarat utama bagi seorang kandidat legislator, supaya mereka piawai dalam memetakan persoalan sekaligus tidak gagap dalam menanggapi semua informasi yang masif dan selalu berkembang di negeri ini. Kedua, sebagai perancang undang-undang, dan itulah tugas utama para legislator (anggota legislatif) akanlah lebih baik kalau kita sangat menguasai berbagai kodifikasi hukum dan semua klausa yang berkaitan dengan terumuskannya sebuah undang-undang yang baik, yang bisa mengayomi semua kepentingan, terutama kepentingan rakyat, bukan penguasa.

Di Australia (bukan karena kebarat-baratan, hanya sebagai bahan bandingan saja), saya mendapatkan sebuah pengalaman yang berharga mengenai berfungsinya peran MP dan senator (anggota DPR/DPD) sebagai wakil dari rakyat. Seorang anggota parlemen benar-benar berani membuka kantor sendiri, merekrut beberapa "ahli" untuk bersama- sama dengan senator tersebut membahas, mengkaji dan mencari solusi yang tepat untuk mengatasi sebuah permasalahan. Sehingga, ketika senator tersebut, dimintai pendapat, komentarnya bukan semata "asal ngomong" tetapi berdasarkan pengetahuan dan fakta yang benar-benar dia dapatkan dari pakar-pakar yang dia rekrut dan data lapangan. Bukan hanya itu, disparitas gaji antara anggota DPR dengan Profefesor Doktor di sebuah universitas, tidaklah begitu jauh. Sungguh sangat berbeda dengan keadaan kita disini masa kini, dimana ilmu pengetahuan masih kurang diapresiasi dengan baik.

Hal lain yang saya dapatkan di Australia, masyarakatnya diajari untuk tidak GREEDY (tamak) atau sikap ingin menguasai semua sektor. Makanya, terutama di Canberra saya melihat, minimal dari bangunan rumahnya, hampir mayoritas besarnya sama, tidak menampakkan kemewahan yang berarti. Tidak juga dalam hal berpakaian, ataupun berlomba-lomba ganti mobil. Bagi mereka, ada apresiasi secara jujur diberikan kepada mereka yang memiliki integritas tinggi, misalnya kejujurannya, keberanian mengakui kesalahan, dan secara ksatria mundur dari jabatan, kalau mereka memang tidak berhasil menyelesaikan masalah. "Malu" yang sangat berlebihan kalau sampai ia terlibat korupsi, mereka sangat menghormati ritual agama masing2 masyarakatnya. Selama saya berada di Australia, tidak ada kekangan atau sinisme masyarakat Australia terhadap agama Islam, atau model pakaian yang dikenakan (misalnya, saya tetap menggunakan jilbab kemanapun dan dimanapun pergi), kecuali ketika terjadi bom bali, yang dulu sempat membuat sebagian masyarakat Aussie marah.... alhamdulillah saya pada saat itu tidak merasakan "gangguan" dari masyarakatnya.

Harapan saya, kandidat DPR mendatang benar-benar harus sensitif terhadap semua isu ini sekaligus memiliki sense of crisis yang sangat memadai. Sehingga nantinya ... masyarakat secara sadar merasakan kehadiran wakilnya di DPR. Semoga, sekilas info ini bisa memberikan sedikit gambaran mengenai misi yang ingin saya emban bila terpilih menjadi anggota legislatif.

Facebook dan doa

Belum begitu lama saya bergabung di facebook yang kata orang sudah berusia hampir 5 tahunan ini. Dan sebagaimana yang lain, mulailah menulis apa-apa yang sedang saya lakukan, mengajak orang berteman, menyapa teman lain, dst. dst. Dan tanpa terasa, tiap kali berkesempatan membaca ada kebahagiaan yang diperoleh terutama kesedihan yang diderita yang tertoreh di kotak 'sedang apa' teman saya, atau tertulis di kotak pesan, saya mencoba untuk bersimpati dan menuliskan sebaris, dua baris doa. Kadang saya tulis di dinding, kadang di kotak komentar, atau juga di dalam pesan. Atau kalau saya membaca ada teman yang ulang tahun, saya pun berusaha ikut berkirim selamat dan doa. Demikian pula di profil dan di kotak pesan saya, banyak teman yang singgah dan melantunkan doa-doanya yang indah, yang tulus dan membesarkan hati. Saya pun selalu merasa berterimakasih dengan doa-doa ini. Saya merasa banyak yang 'care' meski pertalian silaturahim ini lewat dunia maya, bahkan ada sebagian yang saya secara pribadi belum kenal betul dan 'bertemu darat'.

Barusan saya browsing tentang doa di facebook ini, saya temukan sebuah kesaksian The Power of Prayer and Facebook yang cukup menarik. Sang penulis berkisah bagaimana dengan fasilitas facebook ia dapat berkomunikasi kembali dengan seorang temannya. Teman perempuan itu lewat facebook diketahui melahirkan seorang putra. Dan berita tentang putranya ini memenuhi halaman Sang Ibu, lewat foto, info dll. Namun suatu hari, dengan tiba-tiba, kotak infonya berisi sebuah berita duka, putranya sakit leukimia dan harus dikemoterapi. Info ini dengan cepat menyebar dan banjirlah ungkapan-ungkapan simpati untuk Sang Ibu di facebooknya. Saudara, sahabat, teman ikut berdoa untuk Sang Putra. Sang Ibu pun selalu mengupdate keadaan putranya yag membaik dan mulai tidur nyenyak. Fasilitas facebook telah membantu dengan cukup efektif dalam menyebarkan info dan membantu lantunan-lantunan doa.

Doa-doa itu, meski lewat facebook, memang berarti. Dalam keyakinan saya, meski kunjungan facebook tidaklah sereal kunjungan tatap muka, namun kunjungan-kunjungan itu amat bermanfaat. Saya tadi malam diskusi juga dengan Mas Taufiq tentang hal ini. Mas Taufiq bercerita tentang hadits Nabi saw adanya malaikat yang berlalu lalang yang ikut mengamini doa-doa. Bahkan untuk kunjungan ke seseorang yang sedang sakit, ada 70 ribu malaikat ikut mengamini. Demikian di sebuah hadits disebutkan. Tentunya akan amat membahagiakan saya kalau doa teman-teman yang dimohonkan kepada Allah swt untuk saya diijabahi-Nya, karena para Malaikat pun ikut mengamini.

Lalu diskusi kita bergeser sedikit dan bertanya-tanya tentang para malaikat ini. Kira-kira dimana ya para malaikat itu ngumpul untuk mengamini doa-doa di facebook? Adakah mereka ikut berkerubung di dekat laptopku saat aku membaca doa-doa itu. Ataukah mereka berkerubung di dekat komputer temanku saat mereka mengirim doa. Ataukah mereka berkumpul di server dan mengamini setiap ada lantunan 'doa digital' masuk. Mungkin itu satu pertayaan tentang ghaibiyat yang suatu hari, bila diberi kesempatan untuk bertemu mereka, akan saya coba konfirmasi.

Terakhir saya ingin berdoa (termasuk untuk pemilik dan pengelola facebook yang telah menyediakan fasilitas ini) semoga Allah swt memberikan petunjuk-Nya untuk kita semua dan kita diberi kekuatan untuk selalu berbuat baik, walau dengan sebaris doa. Amin.

01 Februari 2009

Manajemen konflik dalam partai

Kalau kita mau jujur, tak ada kehidupan kelompok yang tak mengalami konflik di dalamnya, bahkan dalam kelompok yang terkecil sekalipun, seperti sebuah keluarga. Saya masih selalu ingat nasihat orang-orang tua saat saya hendak menikah dulu, bahwa membina sebuah keluarga, apalagi saat-saat awal, minimal 5 tahun pertama adalah periode yang sangat sulit. Saat-saat itu adalah saat-saat dua pribadi, dua ego, dari dua latar yang berbeda, berusaha untuk dipadu dalam satu rumah. Tentu akan muncul gejolak-gejolak konflik. Sebagian orang-orang tua bahkan menceritakan bahwa saat-saat berat seperti itu juga kadang berulang pada periode tertentu, setiap 7 tahun atau 10 tahun. Dan setelah saya menikah, nasihat orang-orang tua tersebut memang benar-benar nyata.

Kalau dalam kehidupan kelompok yang terkecil sekalipun konflik itu bisa muncul, terutama dalam periode awal pertaliannya, tidaklah aneh bahwa dalam kehidupan kelompok yang lebih besar, seperti partai politik, konflik tersebut akan muncul juga. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tidaklah imun dari hal yang amat natural tersebut. Apalagi PKB masih relatif baru, umurnya bahkan belum sampai 10 tahun. Partai yang seumur misalnya PAN juga mengalami hal serupa (PAN vs. Matahari Bangsa). Bahkan, partai yang usianya relatif lebih lama saja, seperti misalnya PDI-P dan PPP, juga mengalami hal itu (PDI-P vs. PDP, PPP vs. PBR).

Sebenarnya memang bukan konfliknya yang substansial dalam kehidupan berkelompok, karena konflik itu natural. Namun manajemen konflik itulah yang penting untuk dicarikan metode yang tepat, terutama manajemen konflik dalam partai politik. Dalam tradisi demokrasi yang lebih mapan, konflik internal dalam satu partai itu disalurkan misalnya lewat mengakui dan menerima adanya faksi-faksi politik, dan lewat tradisi 'challenge' untuk memilih pimpinan baru.

Tradisi faksi dalam partai politik


Sejak awal sebuah partai politik perlu sadar bahwa di dalam tubuhnya akan ada atau akan muncul aliran-aliran, kelompok-kelompok 'interest', atau apa pun yang lebih kecil. Meski secara umum semua aliran atau kelompok tersebut masih memiliki sebuah latar belakang atau tujuan besar yang mirip, dan oleh karenanya berkelompok dalam sebuah partai. Akan tetapi pengelompokan ke dalam grup yang lebih kecil tersebut tidak boleh diingkari. Dengan menyadari bahwa di dalam dirinya terdapat atau akan terdapat aliran dan kelompok-kelompok yang berbeda, partai politik tersebut perlu mengakui eksistensi dari 'faksi-faksi'. Faksi inilah yang merupakan bentuk pengelompokan dalam sebuah partai politik.

Faksi-faksi dalam sebuah partai politik sesungguhnya memang diperlukan. Kenapa? Karena dengan adanya faksi-faksi itulah sebuah partai politik akan selalu dinamis. Persinggungan di antara faksi-faksi ini akan menggerakkan sebuah partai dari kejumudan. Selain itu, dinamika ini sekaligus akan menjadi kontrol internal dari partai tersebut. Memang persinggungan itu akan menjadi faktor destruktif apabila tidak dapat dikelola. Namun mengingkari adanya faksi justru akan menjadi awal dari konflik internal yang berkepanjangan.

Tradisi 'challenge' untuk menyelesaikan perbedaan antar faksi

Dengan mengakui dan menerima adanya faksi-faksi politik dalam sebuah partai, maka selanjutnya perlu mekanisme bagaimana kepentingan faksi-faksi ini bisa diartikulasikan. Dalam tradisi yang lebih berkembang, perbedaan tersebut diakomodasi lewat tradisi seperti tradisi 'challenge'. Tradisi ini bebentuk upaya perebutan pimpinan partai lewat pemilihan ulang pimpinan partai di antara internal 'pimpinan partai' (party room). Siapa saja yang masuk dalam daftar party room dapat ditentukan oleh masing-masing partai, namun intinya jumlahnya tidak terlalu besar (sekitar seratusan). Dan yang paling penting dimasukkan di dalam party room ini adalah para pengurus partai dan anggota-anggota legislatif yang berasal dari partai tersebut pada tingkatannya (nasional atau lokal). Karena pada umumnya, perbedaan kepentingan itu muncul di antara mereka terlebih dahulu sebelum merambah lebih luas.

Memang, dalam tradisi kepartaian di Indonesia, hal terakhir ini biasa dilakukan lewat Muktamar Luar Biasa (MLB), Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) atau apapun namanya. Namun proses tersebut selama ini sangat mahal karena melibatkan sangat banyak orang. Sampai-sampai ribuan orang ikut serta, dan bahkan membuat seperti sebuah pasar malam. Ia menguras tenaga, fikiran dan uang. Lebih dari itu, MLB atau Munaslub ini justru sering tidak melibatkan faksi-faksi yang berseberangan. Anggota-anggota legislatif dari partai tersebut sering justru tidak bisa ikut bersuara. Karena misalnya, setelah menjadi anggota DPR-RI dia bukan lagi pengurus harian partai baik di pusat maupun di daerah, sehingga tidak punya hak suara. Padahal dari antara merekalah banyak perbedaan kepentingan itu muncul.

Dengan kondisi seperti ini, MLB dan Munaslub pada akhirnya lebih mengecilkan arti aliran atau pengelompokan yang saling berbeda, bukan untuk menyadari dan menerimanya sebagai sebuah kenyataan. Sehingga, yang terjadi, setelah MLB, aliran atau kelompok yang tidak puas keluar dari partai dan tidak jarang membangun sebuah partai baru. Di sisi lain partai utama kemudian didominasi oleh kelompok para pemenang.

Perlu kesadaran demokrasi baru

Padahal bagaimanapun solidnya, perlu sekali lagi disadari bahwa pengelompokan merupakan sesuatu yang natural. Dan pada masanya akan muncul lagi baik di partai baru maupun di partai utama pengelompokan baru lagi yang akan berbeda kepentingan pula. Sebagai misal saja, di PBR yang tadinya menjadi rival PPP, kemudian muncul pula konflik antara Zaenuddin MZ vs. Zaenal Ma'arif lalu Zaenal Ma'arif vs. Bursah Zarnubi. Kalau kita tetap mengikuti cara yang selama ini terjadi, maka akan muncul terus banyak partai, dan partai yang makin lama makin kecil. Satu hal yang kurang sehat untuk kehidupan demokrasi dan bernegara.

Sebaliknya, kalau kita mulai sadar dan mau menerima kenyataan bahwa faksi-faksi politik merupakan keharusan dalam berkelompok, jalan akomodasi bisa ditempuh. Seperti juga dalam sebuah pernikahan, perlu adanya pengorbanan dari ego masing-masing dan menghormati pihak lain maka kalau metode manajemen konflik seperti ini bisa diterima, kehidupan berpartai akan bisa lebih langgeng. Kalau kepentingan beberapa aliran bisa diakomodasi maka setidaknya pihak-pihak yang berkonflik bisa sedikit tenang. Kalau pun nantinya harus melakukan 'challenge' pun, semua pihak baik yang akan menang atau pun yang akan kalah tetap siap, karena ada keyakinan bahwa berbagai pihak ini masih akan diakomodasi kepentingannya.

Partai Kebangkitan Bangsa memang telah mengalami banyak konfik internal. Dan sudah saatnya mencari metode manajeman konflik yang tepat agar tidak lagi konflik menjadi musibah, namun menjadi dinamika yang memacu partai ke depan dan menjadi kontrol awal yang baik dari dalam. Semoga dalam Simposium Nasional dan Mukernas tanggal 11 November yang lalu, upaya-upaya perbaikan partai di antaranya dengan mencari metode penyelesaian konflik yang cantik menjadi bahan bahasan yang membangun untuk PKB ke depan.

Calon Anggota Legislatif DPR-RI
(Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia)
Daerah Pemilihan Jawa Tengah II
(Demak, Kudus dan Jepara)
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB 13)
Nomor Urut 3